KOORDINAT, KABGOR – Penggiat Lingkungan Provinsi Gorontalo, Indra Rohandi, S.Farm, kembali menyoroti soal limbah medis Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang diduga milik Klinik Pratama Yulia, yang dikeluhkan warga setempat.
Menurut Indra, seharusnya pemilik Klinik Pratama Yulia harus bertanggungjawab terhadap limbah medis B3 yang dikeluhkan warga itu, bukan malah melempar tanggungjawab tersebut kepada bawahannya.
“Tanggungjawab itu ada pada pemilik usaha atau kegiatan, tidak boleh melempar tanggungjawab kepada bawahan,” ujar Indra kepada Koordinat, Sabtu (20/11/2021).
Bahkan pria alumnus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu menduga, jika Klinik Pratama Yulia itu tidak memiliki dokumen lingkungan. Sedangkan, kata dia, setiap pelaku usaha termasuk Klinik itu wajib mengantongi dokumen lingkungan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), juncto UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Jika tidak memiliki dokumen lingkungan bisa dikenakan Pasal 109, sanksinya pidana atau administratif,” tegasnya.
Terkait persoalan itu, dirinya pun mempertanyakan peran pengawasan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat terhadap Klinik Pratama Yulia tersebut.
“Pengawasan DLH harus ada, agar pelaku usaha (Klinik_red) paham dan lebih mengetahui kewajibannya,” terangnya.
“Bagaimana peran dan fungsi DLH selaku pemberi izin atau persetujuan lingkungan? Apakah sudah melakukan pembinaan dan pengawasan sesuai ketentuan perundang-undangan secara periodik setiap 6 bulan sekali dengan baik dan benar? Jika tidak, maka DLH wajib diberi sanksi pidana sesuai UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH pasal 112,” sambungnya.

Dirinya juga menegaskan, jika Klinik Pratama Yulia itu buka 1×24 jam, maka ada kegiatan tindakan gawat darurat yang berarti ada limbah B3 dan air limbah dari wastafel atau tempat cuci tangan para medis di Klinik tersebut.
“Sehingga Klinik itu wajib ada Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL), dimana IPAL juga wajib memiliki izin pembuangan air limbah sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, atau wajib memiliki persetujuan teknis dan Sertifikat Layak Operasional (SLO) sesuai UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” pungkasnya.
Sebelumnya, pihak Klinik Pratama Yulia, dr. Yulia Saga Dewi menyampaikan, bahwa persoalan limbah medis B3 yang dikeluhkan warga setempat itu memang merupakan kelalaian dari pihak Klinik Pratama Yulia itu sendiri.
“Memang kelalaian kami dan kami disini sudah berupaya untuk memisahkan mana limbah medis dan mana limbah non medis,” ujarnya, Kamis (18/11/2021).
Ia menjelaskan, persoalan itu terjadi diluar dugaan sebelumnya. Bahkan kata dia, pihaknya akan menjadikan persoalan tersebut sebagai bahan evaluasi, serta akan segera berbenah.
“Persoalan limbah B3 yang ditemukan warga di persawahan, kami tidak bisa memastikan juga, karena kejadian tersebut kami tidak ketahui, bahkan lokasinya juga kami tidak ketahui. Tapi intinya, ketika ada kelalaian di Klinik kami, kami mengakui dan segera akan diperbaiki,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Klinik Pratama Yulia, Bambang Wisno Baskoro menambahkan, bahwa sistem pengelolaan limbah medis itu sudah berjalan. Hanya saja, mungkin ada beberapa kelalaian.
“Pada prinsipnya, kami selalu melakukan pemisahan terhadap limbah, setelah itu kita tampung dan kita letakkan dalam satu wadah dan kita tempatkan dalam satu bangunan tertentu. Hanya mungkin dalam prosesnya ini ada kelalaian didalamnya, walaupun SOP (Standar Operasional Prosedur) sudah berjalan dengan baik dan hal ini akan kami perbaiki kedepannya,” tuturnya.
Dirinya mengungkapkan, saat ini Klinik Pratama Yulia masih sementara melakukan proses kerja sama dengan pihak ketiga untuk pemusnahan limbah B3 tersebut.
“Kami juga saat ini sementara proses kerjasama dengan pihak ketiga untuk pemusnahan limbah B3, namun hal tersebut sementara proses, dealnya belum,” tandasnya.
Penulis: RRK