Oleh : Dina Sulaeman
*Karena sempat ada kehebohan soal aksi terbaru kelompok pro-khilafah yang bikin film -yang isinya banyak mendistorsi sejarah Nusantara- saya jadi teringat pada pertanyaan “apakah demokrasi boleh melawan kelompok antidemokrasi?”
Di medsos, kelompok pro-khilafah dengan penuh semangat juang menyebarkan link-link unduhan film itu, mengaku direpresi (konon filmnya diblokir entah oleh siapa), dan berargumen begini, “Katanya kalian mendukung demokrasi, mengapa kami dilarang menyebarluaskan ide kami soal khilafah? Konsisten dong!”
Nah inilah absurdnya perdebatan soal HTI versus demokrasi. HTI menolak demokrasi; yang diusungnya adalah sistem khilafah. Tapi, HTI memanfaatkan demokrasi untuk menyebarluaskan idenya dan bila kubu prodemokrasi melawan, mereka berlindung di balik demokrasi. Absurd kan?
Yang lebih lucu lagi, beberapa akademisi Australia pernah ikut-ikutan mengecam pemerintah saat HTI dibubarkan. Kasus HTI dipakai sebagai landasan untuk menyatakan bahwa pemerintah melakukan “deliberate and increasingly systematic effort to impede and enfeeble the legitimate opposition essential to democratic regimes” (Power, 2018) [upaya yang disengaja dan semakin sistematis untuk menghalangi dan melemahkan oposisi yang sah yang penting bagi rezim demokrasi] sehingga “the government is increasingly turning to authoritarian measures to shore up its support and stymie its opponents” (Aspinall, 2019) [pemerintah semakin beralih ke tindakan otoriter untuk menopang dukungannya dan menghalangi lawannya”.
Ada seorang penceramah sangat terkenal bicara begini, “Di negara liberal, rakyat bebas mau apa saja, tapi silakan cari uang sendiri. Di komunis, semua dijamin, tapi rakyat di suruh diam. Kalau di negara kita, silakan cari uang sendiri, tapi kalian juga harus diam.” Sungguh absurd, bukannya si penceramah ini justru bebas mengata-ngatai pemerintah?
Saya tidak menampik bahwa ada kasus-kasus di berbagai isu ya, misalnya kasus agraria. Tapi di tulisan ini saya fokus bahas para pengusung khilafah (HTI). Saya mempertanyakan: apakah demi mempertahankan demokrasi, kekuatan demokrasi harus membiarkan kekuatan-kekuatan antidemokrasi merajalela, yang tujuan mereka adalah membunuh demokrasi itu sendiri?
Saya (dkk) sudah menuliskan jawabannya dalam sebuah artikel yang dimuat di sebuah jurnal di Eropa, silakan dibaca sendiri [bit.ly/2Qj65rP]. Di sini saya mau kutip sedikit saja.
Pertama, sejumlah pemikir memang sudah mengidentifikasi adanya aktor-aktor yang berusaha menghancurkan demokrasi dari dalam, yaitu (1) mereka secara terbuka membentuk partai-partai antidemokratis, (2) gerakan massa yang mempropagandakan perubahan bentuk negara, dan (3) individual yang menggunakan struktur akar rumput dan media sosial untuk melawan status quo yang demokratis (Mietzner, 2018).
Nah, HTI jelas masuk ke (2), meski sebenarnya nama “hizbut-tahrir” artinya adalah “partai pembebasan”. HTI sebenarnya adalah kegiatan politik (mempropagandakan perubahan bentuk negara), tapi karena ingin mencitrakan diri sebagai gerakan dakwah belaka, mereka tidak menyatakan diri sebagai partai, melainkan ormas.
Kedua, apa yang bisa dilakukan pemerintahan demokratis dalam menghadapi kekuatan antidemokratis?
Plotke (2006) menyebutkan ada 3 opsi yang bisa diambil, yaitu political toleration, repression, dan incorporation. Plotke menyatakan bahwa toleransi politik tidak sama dengan penerimaan atau persetujuaan, melainkan lebih kepada keterbukaan untuk menerima berbagai tawaran politik dari berbagai kalangan.
Namun, masalahnya, toleransi tidak bisa memberikan jawaban atas masalah yang ada terkait relasi antara budaya (termasuk di dalamnya agama) dan politik. Misalnya, pemerintah bisa saja mengakui keberadaan sebuah kelompok agama tertentu; tapi ketika kelompok agama itu memiliki pandangan politik yang menyatakan bahwa hanya kelompok merekalah yang boleh menjadi pemimpin politik [presiden], tentu akan menjadi ancaman bagi demokrasi.
Represi politik adalah penggunaan power, terutama oleh negara, untuk membatasi atau menghapuskan kapasitas aktor dalam melakukan aktivitas politiknya. Mulai dari pemberlakukan aturan yang membatasi dengan ketat terhadap kekuatan antidemokratis, hingga melarang organisasi antidemokratis dan melakukan tindakan hukum terhadap individual yang memainkan peran dalam aksi-aksi kekerasan.
Plotke menyatakan bahwa represi terhadap kekuatan antidemokrasi memang adalah instrumen yang berbahaya yang berpotensi kuat untuk melemahkan demokrasi. Namun di saat yang sama, warga negara pun memiliki kepentingan untuk mempertahankan pemerintahan yang telah mereka pilih. Jika kekuatan antidemokratis dibiarkan, hak-hak politik mereka akan terancam; dalam kasus-kasus ekstrim, keamanan dan persatuan negara pun mengalami ancaman.
Namun Plotke menggarisbawahi bahwa tindakan represi itu harus dilakukan dalam koridor hukum.
Plotke menyarankan opsi ketiga, incorporation, yaitu mengundang kekuatan antidemokrasi untuk bergabung dalam proses-proses demokrasi namun di saat yang sama, pemerintahan demokratis tetap bersikap tegas menolak proyek-proyek antidemokrasi yang bertujuan untuk memblokir dan menghancurkan praktik-praktik demokrasi. Dalam prakteknya, strategi incorporation dapat melibatkan repression terhadap kekuatan politik yang teradikalisasi dan meningkatkan perlawanan mereka terhadap kekuatan demokrasi.
Dari 3 opsi ini, sebenarnya langkah pemerintah Indonesia sudah tepat kok, membubarkan HTI. (Di artikel jurnal, saya ungkapkan panjang lebar argumen tentang bahaya HTI, termasuk dukungan mereka pada aksi penggulingan rezim dengan cara teror di Suriah).
Sungguh aneh bila para pembela demokrasi (SJW dan para akademisi Australia) menyinyiri hal ini “atas nama demokrasi”.
Tapi langkah pemerintah juga sebenarnya masih nanggung: ormas dibubarkan, tapi aktivisnya masih bebas melakukan apa saja. Mereka bahkan bebas membuat film yang mendistorsi sejarah bangsa ini.
Dan inilah sumber kekecewaan para aktivis antiradikalisme (prodemokrasi tentu saja, tapi non-SJW). Di lapangan mereka sudah lelah berjuang, eh di atas, para elit masih saja “main mata” dengan radikalis. Mereka sepertinya tidak melawan radikalisme secara ideologi (demi NKRI), tapi hanya demi posisi politik. Kalau hitungan politik kan memang “lihat kemana angin bertiup”. Persetan dengan nasib bangsa di masa depan.(R01)