Koordinat.co, Gorontalo – Sebagai orang baru di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Gorontalo, Umar Karim (UK), mengaku masih butuh beberapa waktu untuk memahami dan mempelajari kondisi umum Pemerintahan Provinsi Gorontalo.
Namun meskipun baru beberapa hari mempelajari sejumlah data, UK amat terkejut saat mendapatkan data yang menurutnya sangat tidak ideal, yang membuat siapa saja yang mengetahuinya pasti akan mengerutkan kening.
Sebagai contoh, kata UK, meskipun tingkat kemiskinan Provinsi Gorontalo ketika itu tahun 2023 sangat tinggi yakni sebesar 15,57 persen sesuai data BPS, akan tetapi banyak peruntukan anggaran tidak dialokasikan dalam rangka pengurangan tingkat kemiskinan.
“Coba anda bayangkan, sesuai yang dilaporkan Gubernur dalam dokumen LKPJ Tahun Anggaran 2023, bahwa pada tahun 2023 disaat sekitar 180 ribu-an rakyat menggelepar dalam kemiskinan justru dalam APBD dialokasikan anggaran hampir 149 miliar atau tepatnya 148,2 milyar hanya untuk biaya perjalanan dinas. Tentu itu gabungan Perdis DPRD dan Pemprov,” kata UK dalam keterangannya, Senin (04/11/2024).
UK mengungkapkan, dari alokasi tersebut lebih 146 miliar tergunakan atau realisasinya sekitar 98,88 persen. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk perjalanan dinas tersebut menelan anggaran hingga 7,7 persen dari realisasi APBD pada tahun 2023 yang hanya sebesar 1,894 triliun. Menurutnya, ini luar biasa besar.
“Jika separuh saja dari anggaran 146 miliar itu digunakan membangun rumah layak huni dengan nilai 20 juta/unit, maka bisa membangun sekitar 3 ribu rumah dan jika 1 rumah ditempati suami dan istri serta anak 2 orang, maka dapat membantu bahkan mengurangi sekitar 15ribu masyarakat miskin atau mengurangi sekitar 9 persen masyarakat miskin dalam setahun. Ini sebenarnya potensi untuk mengurangi kemiskinan tapi realitasnya tidak demikian,” tegas UK.
“Saya heran kok bisa begitu, padahal Pemprov dan DPRD saat menetapkan APBD pasti tahu bahwa kapasitas fiskal Provinsi Gorontalo kategori ‘rendah’ dengan rasio hanya 1,421 sebagaimana dirilis dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84 Tahun 2023 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah. Sebenarnya dengan mengetahui kapasitas fiskal rendah seperti itu, anggaran harusnya benar-benar dihemat,” tambahnya.
UK juga mengtakan, bahwa hal tersebut benar-benar sangat boros dan tidak lagi mengindahkan prinsip pengelolaan keuangan daerah yang efisien, ekonomis, efektif, memperhatikan rasa keadilan, kepatutan dan kemanfaatan untuk masyarakat sesuai perUUan yang berlaku. Menurutnya, kayaknya anggaran untuk Perdis bukan lagi bertujuan untuk penanggulangan biaya operasional Perdis, tapi sudah bergeser menjadi berorientasi pada penambahan penghasilan bagi pelaku Perdis.
“Ini menjadi potret Pemerintah Provinsi boros di tengah rakyatnya menderita miskin. Seperti orang busung lapar, hanya di sekitar perutnya yang besar, organ lainnya tidak mendapatkan asupan gizi. Tahun ini tahun 2024 kemungkinan besar anggaran Perdis tak berselisih jauh dengan tahun 2023, saya pun masih men-tracking datanya,” ungkap UK.
“Tak hanya itu, akses publik terhadap APBD pun sangat terbatas bahkan sekalipun saya sebagai Aleg sulit mendapatkannya apalagi masyarakat. Padahal sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pengelolaan keuangan daerah harus tunduk pada prinsip transparan, yakni prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah. Harusnya informasi seperti itu tersedia setiap saat dan mudah diakses, akan tetapi faktanya tidak demikian. Ini jelas melanggar Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Pemerintah yang mengatur pengelolaan keuangan daerah,” sambungnya.
Lebih lanjut kata UK, bahwa hal tersebut juga sebagai akibat dari letak gedung DPRD di tengah hutan, praktis pantauan masyarakat jadi kurang. Berbeda jika Gedung DPRD di tengah masyarakat atau di tengah kota, pasti rakyat akan mudah tahu sehingga rakyat bisa langsung protes.
“Kalau pun jika keadaan ini mau dikoreksi, perbaikannya bukan lagi pada soal teknis pengalokasian anggaran, akan tetapi ini sudah harus pada level paradigma di tingkat elit kekuasaan. Daerah ini harus dibangun dengan semangat pengabdian, bukan dengan orientasi yang mengabaikan kepentingan rakyat,” jelas UK.
“Saya berharap Pj Gubenur untuk mengambil langkah-langkah efisiensi kedepannya dan meski kurang yakin, saya akan mencoba meyakinkan teman-teman di DPRD untuk mendorong efisiensi. Intinya jika ditanya apa yang pertama saya lakukan setelah menjadi Aleg, jawabnya ‘saya curhat dulu’,” tambahnya menandaskan. (Red)