KOORDINAT.CO, Pohuwato – Pergantian kepemimpinan di DPRD Pohuwato, di mana Nasir Giasi digantikan oleh Beni Nento sebagai ketua, memunculkan pertanyaan mendasar: apakah ini merupakan simbol kegagalan Nasir Giasi dalam memimpin Partai Golkar menuju Pilkada 2024? Golkar, yang meraih 7 kursi di DPRD Pohuwato dan menjadi partai dengan perolehan kursi terbanyak, tampaknya tidak mampu mengoptimalkan posisi strategisnya untuk memengaruhi proses pencalonan Bupati dan Wakil Bupati.
Fenomena ini menjadi sorotan serius, mengingat peran dan posisi Golkar sebagai salah satu partai politik paling berpengaruh di Indonesia, khususnya dalam konteks sejarah politik Orde Baru.
Golkar, dengan warisan panjang sejak zaman Orde Baru, memiliki reputasi sebagai partai yang selalu berada di lingkaran kekuasaan. Partai ini tidak pernah menjadi oposisi dalam sejarahnya, bahkan ketika menghadapi perubahan besar dalam lanskap politik Indonesia pasca-Reformasi.
Hal ini menunjukkan bahwa Golkar selalu memilih jalur pragmatis, tetap berada di sisi kekuasaan, bahkan di saat dinamika politik mengharuskannya melakukan kompromi-kompromi tertentu.
Namun, di Pohuwato, Golkar seakan kehilangan taringnya. Meskipun memiliki ketokohan yang kuat melalui figur-figur seperti Nasir Giasi dan Suharsi Igirisa, partai ini tampaknya tidak mampu mendorong kadernya untuk maju sebagai calon kepala daerah.
Sebaliknya, Golkar memilih bergabung dengan koalisi SIAP (Saiful Mbuinga dan Iwan Adam) alih-alih mengambil peran sebagai oposisi yang konstruktif atau sebagai pengusung calon independen. Keputusan ini, meskipun mungkin didasari oleh pertimbangan pragmatis, membuat publik bertanya-tanya apakah Golkar telah kehilangan arah politiknya di tingkat lokal.
Keputusan untuk bergabung dengan koalisi SIAP memperlihatkan bahwa Golkar tetap setia pada pola politiknya yang cenderung menghindari perlawanan langsung. Meskipun demikian, langkah ini juga memperlihatkan keterbatasan partai dalam membentuk poros kekuatan politik yang lebih mandiri di Pohuwato.
Padahal, dengan perolehan kursi terbesar di DPRD, Golkar seharusnya mampu memainkan peran yang lebih signifikan dalam menentukan arah politik lokal, termasuk dalam pencalonan Bupati dan Wakil Bupati.
Dengan lengsernya Nasir Giasi, timbul spekulasi bahwa Golkar gagal dalam melakukan konsolidasi internal dan eksternal untuk memaksimalkan potensi politiknya di Pilkada 2024. Partai yang dikenal tangguh dan selalu berada di posisi kekuasaan ini justru terlihat mengalami stagnasi di Pohuwato, kehilangan momentum yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memperkuat posisinya sebagai partai penguasa di tingkat daerah.
Pertanyaan yang tersisa adalah: apakah Golkar mampu bangkit dan merevitalisasi perannya di Pohuwato? Ataukah lengsernya Nasir Giasi menjadi awal dari penurunan pengaruh Golkar di panggung politik lokal? Partai Golkar, dengan sejarah panjangnya, harus segera mengambil langkah strategis untuk kembali merajut kekuatan politiknya dan memastikan bahwa peran besar yang telah diraih selama ini tidak tergerus oleh ketidakmampuan beradaptasi dalam menghadapi perubahan politik di tingkat lokal.
Editor: Fadel Monoarfa