Oleh : Erizelly Bandaro
Kalau saya mengkritik pertama saya harus tahu percis latar belakang UU dan Aturan yang mendasari kebijakan itu ada. Saya tidak akan terpengaruh opini orang atau media massa. Ini sudah menjadi nature saya. Jadi saya tidak mudah jadi follower. Contoh saya kritik Jokowi mengecam Presiden Perancis. Karena saya tahu duduk persoalan kasus itu. Dan tahu prinsip politik bebas aktif yang tertuang dalam UUD 45. Bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan negara lain khususnya yang berkaitan dengan hukum dan UU yang berlaku pada negara tersebut. Kalau ingin berpolitik atas pidato Presiden Perancis itu, cukup level Menlu.
Berkaitan dengan UU Cipta Kerja, saya paham bagaimana proses UU itu dibuat oleh DPR. Dari sejak naskah akademis, Bamus, Baleg, dan akhirnya terbentuk Panja. Dokumentasi setiap pembahasan DIM ( Daftar Isian Masalah) dengan perwakilan fraksi dan dengar pendapat dengan Stakeholder itu sangat rapi. Maklum dokumentasi rapat pembahasan itu juga bagian dari proses legitimasi UU. Jadi tidak boleh cacat hukum. Makanya saya tidak ikut nyinyir seperti opini pakar dan media massa. Tetapi ketika ada kesalahan ketik setelah ditanda tangani, saya kritik. Karena saya paham sistem administrasi UU itu ketika diudangkan masuk lembaran negara. Kesalahan ada pada Sekjen DPR dan Sekneg.
Apa yang hendak saya sampaikan. Kalau anda melihat politik jangan berpatokan dengan berita media massa atau pendapat pakar. Karena mereka punya agenda tersendiri. Jangan pula melihat hitam putih. Mengapa ? Urusan negara itu ada aturan dan UU. Semua pemain politik tidak bisa tabrak UU dan aturan itu. Nah bagaimana mereka mengelola ritme permainan dan mencitakan dinamika? Disitulah seni politik. Seperti menarik rambut dalam tepung, rambut jangan putus, tepung jangan bergoyang adalah Butuh kesabaran dan keuletan dalam menentukan langkah.
Dalam hubungan islam dan Politik. Itu sudah dikunci dengan UU Ormas dan Parpol yang mengharuskan hanya pancasila sebagai idiologi. Nah kalau ada ormas islam bermain politik, sementara dia tidak punya izin sebagai ormas, maka dia mudah sekali dikorbankan. Contoh HTI dan FPI. Engga mungkin secara formal Parpol memanfaatkannya seperti kasus FPI waktu Pemilu 2019. TNI bertugas melaksanakan politik Negara, berkewajiban menumpas ormas berpolitik praktis kalau tidak dapat izin sebagai ormas. Itu sama dengan makar. Jadi engga mungkin kita akan di Suriahkan.
Sementara legitiminasi politik itu hanya ada pada Parpol. Diluar itu engga dihitung. Namun karena sistem kita demokrasi dan islam penduduk mayoritas, maka sudah menjadi tugas pemerintah dan semua Parpol untuk merebut hati umat islam. Itu bukan berarti pemerintah tunduk pada idiologi islam. Itulah politik. Namun proses pendidikan karakter bangsa berdasarkan Pancasila terus dilakukan. Caranya? ya politik lagi. Kenapa? Agar perubahan terjadi tampa menyinggung perasaan umat islam. Tentu perlu proses dan waktu. Perlu kesabaran.
Di era digital sekarang ini dimana informasi datang bertubi tubi, anda harus bijak menilai informasi itu. Pahami latar belakang suatu persoalan sebelum anda bersikap. Contoh Cagub menawarkan rumah DP 0% dari kedit bank. Walau dia katakan itu membela orang miskin. Kita tidak akan terprovokasi percaya. Karena kita tahu latar belakang bagaimana bank bisa memberikan kredit. Orang miskin engga bisa mengakses bank. Kalau semua bersikap seperti itu, maka hoax yang provokatif tidak laku. Politik populis dan utopia engga laku. Politik jadi kerja profesional. Kehidupan jadi damai. Kita bisa tersenyum diatas perbedaan pilihan.
Sumber : Facebook Erizelly Bandaro