Oleh : Dina Y. Sulaeman
Membaca berbagai aksi boikot yang berupa perusakan (dan tentu saja langsung jadi bahan ejekan rame-rame), saya jadi merasa perlu nulis, apa sih esensi boikot itu?
Saya jelaskan dulu posisi saya: saya tidak memboikot produk Prancis, tapi selama bertahun-tahun BERUSAHA (sebisa saya) menghindari membeli produk-produk yang terbukti memberikan sebagian profitnya kepada Israel; atau jelas-jelas bikin pabriknya di atas tanah pendudukan Palestina (Occupied Palestine). Kalau kebetulan ada produk Prancis yang juga dukung Zionis, nah produk ini juga saya hindari.
Ada 7 poin penting soal boikot ini.
- Boikot itu BEDA dengan merusak. Kalau sudah ada barangnya, sudah dibeli, lalu kamu buang-buang, kamu rusak, itu namanya konyol. Kalau muslim, sudah jelas ada ayatnya: mubazir itu temannya setan. Atau misalnya, kamu disuguhi orang minuman merek nganu (padahal kamu boikot), ya sudah minum saja, bukannya dibuang dan bikin tersinggung orang yang memberi.
- Boikot itu pilihan yang rasional dan tidak pake emosi. Misal, saya memutuskan memboikot produk air mineral merk nganu atau biskuit merk nganu atau bedak merek nganu yang perusahaan pusatnya pro-Israel, ya setiap kali saya ke toko, saya beli barang yang sama dengan merk-merk lain (produksi perusahaan lain). Sesederhana itu. Ga perlu pake ngamuk. Dan orang lain juga TIDAK USAH MENGEJEK. Itu hak saya kan? Siapa Anda maksa saya pilih merk nganu?
- Ketiga, boikot itu adalah sebuah upaya politik. Tujuannya adalah memberikan tekanan politik kepada pemerintah tempat asal produsen barang tertentu. Sekali lagi, boikot adalah TEKANAN POLITIK. Di saat yang sama, berpolitik adalah HAK. Siapa Anda melarang-larang orang berpolitik?
- Boikot adalah upaya politik di tengah ketidakberdayaan. Seharusnya kan ada pihak yang berkuasa yang menegakkan keadilan. Ketika tidak ada, masyarakat sipil yang tidak berdaya bisa menggunakan sedikit power yang mereka punya: menolak membeli sebuah produk.
Banyak netizen pro-Israel yang bilang: kalau mau boikot Israel, ga usah pakai hape, ga usah pake facebook, ga usah pakai laptop.
Jawaban saya ke mereka: (1) apa urusanmu saya pakai itu atau tidak pakai itu? (2) sebagai sikap politik, di tengah ketidaberdayaan saya, saya melakukan apa yang saya bisa. Level saya ya cuma sekedar bisa memilih menghindari air mineral, bedak, lipstik, atau biskuit merek tertentu, ya itulah yang saya lakukan.
Ini seperti menjawab soal ujian: soalnya ada 10, saya cuma bisa jawab 5, ya yang 5 itu saya jawab. Kalau saya tidak jawab sama sekali, kan pasti gak lulus. Dengan menjawab 5, lumanyanlah, ada juga nilainya.
- Apakah boikot akan berdampak? JELAS dong. Makanya para buzzer Israel mengejek/menghina habis-habisan ketika ada yang menyerukan boikot produk pro-Zionis. Kalau tidak ada potensi berdampak, mereka ga akan bunyi.
Dulu, rezim apartheid Afrika Selatan juga bubar karena diboikot dunia rame-rame. Hasilnya, berdirilah pemerintahan yang demokratis.
Tujuan boikot Israel (dan yang melakukan bukan cuma orang Muslim ya, malah lebih banyak dilakukan kalangan pro Palestina di negara-negara Barat, misalnya di Irlandia): memberikan TEKANAN POLITIK kepada rezim Zionis yang apartheid, rasis, dan pelanggar hukum internasional.
Harapannya, rezim ini bubar, lalu terbentuk pemerintahan demokratis yang mau mengembalikan hak-hak orang-orang Palestina yang telah terusir; dan tidak melakukan pengusiran baru. Rezim yang sekarang, sampai hari ini pun masih terus mengusir dan menghancurkan rumah-rumah Palestina di Tepi Barat.
- Kalau boikot produk Prancis gimana?
Kalau Anda mau memboikot Prancis, itu HAK Anda, saya tidak akan mengejek. Tapi pesan saya, pahami tujuan dan caranya, supaya BERDAMPAK. Santai saja, tapi stop beli produk tertentu. Kalau penjualan mereka benar-benar turun, mereka pasti ngomong ke pemerintahnya. Sama seperti yang dilakukan pengusaha-pengusaha Israel yang kerepotan oleh aksi boikot di negara-negara Barat; mereka ngomong ke Netanyahu, “Hentikan berbagai pelanggaran hukum internasional; supaya bisnis kami lancar!” - Hasil akhirnya gimana? Apa bener boikot ada gunanya?
Jawaban saya: maaf, ini politik global, bukan makan mie instant yang dalam lima menit bisa langsung Anda rasakan hasilnya..(R01)
Sumber : Facebook Dina Y. Sulaeman.
Latar belakang penulis : Analis isu-isu sosial dan geopolitik Timur Tengah. Meraih gelar doktor Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran (2016), Direktur Indonesia Center for Middle East Studies. Beberapa karyanya antara lain “Salju di Aleppo”, “Pelangi di Persia”, “Ahmadinejad on Palestine”, “Obama Revealed”, “Princess Nadeera”, “Journey to Iran”, “Prahara Suriah”, dan “A Note from Tehran” (antologi). Saat ini tinggal di Bandung.