Disadur dari akun facebook : Maman Ntoma
Pemerhati Budaya Sulawesi
KOORDINAT.CO, GORONTALO – Mungkin di negeri kita masyarakat moderen baru kali ini mendengar ungkapan kalimat Gorontalo-Limboto dan Limboto-Gorontalo.
Berikut selain dari itu, akan dapat mengetahui makna dan pengertian dalam istilah itu melalui kisah selanjutnya.
Sebagaimana biasanya didengar dimana mana masyarakat Gorontalo dan Limboto hanya menyebut dan mencatat kosa kata Gorontalo bilamana Gorontalo, demikian juga halnya cuma menyebut Limboto kalau Limboto. Hal itu diungkapkan dengan maksud untuk menunjukkan etnis, bahasa atau letak wilayah geografis dan sebagainya pada masa kekinian. Tetapi berbeda halnya dengan masa lalu di dalam kehidupan sosial masyarakat kuno Gorontalo maupun di Limboto.
Oleh karena itu, kali ini akan dijelaskan satu persatu dan secara berurutan, riwayat atas ungkapan kalimat Gorontalo-Limboto dan Limboto-Gorontalo, sebagaimana tersirat pada lembaran lembaran naskah kuno yang mempunyai semboyan ”Duluwo Lo Limo Pohalaa”.
Bermula dari negeri Hulonthalangi saat pertama kali dirintis oleh Wolangodula dan We Tenriabeng yang diberinama oleh warganya sebagai putri Rawe.
Hal itu terjadi pada tahun 564 hijriah atau kira kira pada tahun 1168 masehi. Wolangodula adalah anak seorang etnis berkebangsaan Minahasa purba yang bernama Humalanggi, atau dikenal sebagai pendatang dari gunung Kalabat.
Sedang isterinya yaitu Rawe adalah adik kandung seorang pengembara yang bernama Sawerigading. Mereka bertemu pada satu tempat yang kelak akan menjadi sebuah linula tua (Kampung purba) yakni Padengo.
Kemudian hari sebahagian kecil dari wilayah itu mereka namakan Tamalate. Dalam hikayat kuno, Padengo adalah kampung tua nan luas. Lalu kemudian penduduknya mengangkat salah seorang diantara warganya selaku Raja, dia adalah Humalanggi. Dan berlanjut hingga pada suatu masa usia Humalanggi menua, maka Wolangodula mengambilalih takhta itu dari ayahnya, karena dia adalah satu satunya anak laki-laki dari lima orang bersaudara.
Lambat laun, dari tangan Wolangodula kepemimpinan itu diwariskan lagi kepada anaknya yaitu Bulonggaladaa. Dengan demikian akan berlanjut pula waris mewarisi takhta kerajaan dari Bulonggaladaa kepada anaknya.
Maka seperti biasanya, lazim bagi nenek moyang memberi nama kepada anaknya yang baru lahir sama dengan nama kakeknya. Oleh karena itu pengganti Bulonggaladaa sebagai Raja, diwariskan kepada anaknya yang tunggal dan dinamakan pula Humalanggi.
Humalanggi II (kedua) inilah yang akan menurunkan Raja raja dan Sultan sultan kepada seluruh generasi masyarakat Limo Pohalaa. Ia mempunyai dua orang isteri, yang pertama ialah Ngealo. Dari pasangan ini, mereka dikaruniai seorang anak yaitu Tobuto yang akan mengawali terbentuknya kerajaan kecil di Limutu (Limboto). Sementara itu dari isterinya yang bernama Bulai dikaruniai pula seorang anak laki-laki disebut Hintelimo.
Menyusul perkawinan Hintelimo dengan Putri Lempidu, kemudian hari akan menurunkan seorang putra yang cikal bakal mengembangkan linula Hulonthalangi menjadi kerajaan besar, hingga pada puncak kejayaannya digelar sebagai Raja Hulonthalangi. Ia adalah I Lahude atau disebut dengan nama lain Wadipalapa.
Dalam kisahnya, diceritakan pula bahwa pengikutnya menyematkan gelar kepada Wadipalapa sebagai La Tenripappang, karena kebiasaannya mengembara dan seringkali menaklukkan suatu kaum.
Fase Kerajaan Kuno Dalam Persekutuan Limo Pohalaa
Seperti yang sudah diceritakan lebih dahulu, mula mula penduduknya hanya sedikit, dihuni oleh satu komunitas yang didasari hubungan pertalian darah antar keluarga secara turun temurun.
Mereka adalah kelompok kecil, namun dalam hal itu terdapat dua keturunan yang saling berbeda asal-usul. Tetapi secara bersamaan datang ditempat itu. Yaitu kelompok Humalanggi dari gunung Kalabat menuju Huntuloboludawa, kemudian berpopulasi dan berkembang hingga menjadi sebuah linula yang bertempat di Padengo.
Pada waktu yang sama Rawe tiba dari Ware atau Luwu purba, lantas mendirikan perkampungan kecil, sekarang adalah Tamalate. Oleh karena populasinya makin bertambah banyak, maka mereka berpencar pencar mendirikan linula linula di sekitar danau Limboto. Hingga jumlah keseluruhan mencapai tujuh belas linula.
Dari jumlah keseluruhan, linula Hulonthalangi mempunyai warga pengikut terbanyak. Linula Hulonthalangi dipimpin oleh Ilahudu alias Wadipalapa. Ia terbilang pemberani yang kuat dan mampu menaklukkan seluruh linula linula yang ada serta mempersatukannya. Mengawali hal itu, wilayah kekuasaannya semakin luas dan secara berkesinambungan dikenal dengan nama kerajaan Hulonthalangi. Kerajaan Hulonthalangi juga menguasai salah satu pulau di wilayah Tompotika (sekarang Kab.Luwuk/Banggai). Itulah pulau Bualemo dan disana juga ia dikenal dengan julukan La Tenripappang.
Di bawah pemerintahan Wadipalapa, jabatan raja-raja kecil (Pemimpin Linula) yang tergabung dalam kekuasaannya dirubah menjadi kepala daerah yang tunduk kepadanya. Sejumlah kepala daerah itu disebut Ulea lo Lipu, dan mereka diangkat di empat tempat yang istimewa yakni, di Lupoyo, Hunginaa, Bilinggata dan di Wuwabu.
Dari keseluruhan jumlah penduduk yang terdapat pada empat linula itu, terdiri dari keluarga raja dan kerabat raja yang memerintah. Mereka mempunyai kedudukan istimewa selaku petinggi petinggi kerajaan, antara lain :
1. Linula Lupoyo, kawulanya berperan sebagai petugas yang berfungsi mendampingi Raja guna mengurus pelaksanaan program dalam pemerintahan.
2. Linula Hunginaa, kawulanya memegang peranan mempertahankan peraturan adat (Wuu lo adati = Pengatur adat di dalam bermasyarakat).
3. Linula Bilinggata, kawulanya mempunyai prajurit prajurit atau pasukan yang berfungsi untuk mengatur pertahanan. Menjaga keamanan Raja dan keluarganya, serta menjaga keamanan rakyat di wilayahanya. Tentara tentara itu dipimpin oleh seorang yang bergelar apitalau (Kapiten laut).
4. Linula Wuwabu, kawulanya berperan dalam mengurus pengadilan dan kehakiman serta seluruh persoalan di bidang keagamaan atau kepercayaan yang dianut.
Struktur pemerintahan ini berlaku dimulai dari Raja Wadipalapa, sampai kepada generasi yang ke empat. Terhitung semenjak Ilahudu berkuasa pada tahun 1385, kemudian sebagai penggantinya turun kepada anaknya yang bernama Uloli, memerintah pada tahun 1427 s/d 1450. Lalu kemudian pada tahun 1450 dinamika pemerintahan diteruskan kepada Wolango (Putera/anak Raja Uloli), hingga sampai pada pemerintahan Raja Polamolo.
Di dalam kerajaan berlaku praktek praktek keudikan tanpa mempertimbangankan akibat hukum yang terdapat dalam kesepakatan. Keempat linula itu masing masing berhak memilih dan memberhentikan Raja. Mereka berfungsi sebagai pilar pilar dalam pemerintahan. Dan sejak Sultan Polamolo menduduki kursi kerajaan, ia merubah keempat dasar dasar pemerintahan itu lalu mengangkat dua orang wakil sebagai pembantunya untuk menjalankan roda pemerintahan, yakni Diti Olongia dan Walaapulu. Adapun tatanan aturan berupa empat dasar pemerintahan tersebut, dirubah menjadi 3 buatula (buatulo totolu) dan akan menjadi struktur dasar pemerintahan yang baru masing masing adalah :
1. Buatula Banthayo diperankan oleh kawula adat yang dikepalai oleh seseorang dan disebut Bate, tugas dan fungsinya sebagai pembuat aturan.
2. Buatula Bubato diperankan oleh seorang raja selaku eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan.
3. Buatula Bala diperankan oleh apitalau (Kapiten Laut) yang bertugas dan berfungsi menjaga Raja dan keamanan rakyat wilayah kerajaan.
Disayangkan, Raja Polamolo terpengaruh oleh bujuk rayu beberapa pihak bangsawan Gorontalo dan Limboto, untuk melakukan perubahan perubahan dalam pemerintahan. Selain itu, ia juga memberhentikan empat orang ulea lo lipu, lalu akhirnya Polamolo dianggap telah mengeksploitasi empat linula tersebut, tanpa melakukan musyawarah lebih dahulu kepada seluruh pihak bangsawan Limboto. Oleh sebab itu para kawula yang menolak tindakan Polamolo, secara diam diam berusaha untuk menyingkirkannya dan merencanakan pembunuhan terhadap dirinya.
Setelah Raja Polamolo terbunuh, para bangsawan bersepakat mengangkat Ntihedu, yaitu bibi Polamolo sebagai penggantinya. Tetapi kodratnya sebagai seorang Ratu, ia lemah dan mulai memerintah tahun 1491 dengan kelemahan kelemahannya saja. Sehingga perselisihan dan kebencian antara Gorontalo dengan Limboto semakin meninggi. Hal ini pula menjadi penyebab hingga tak lama kemudian ia digantikan oleh anaknya yaitu Detu.
Berlangsung pada tahun 1503 mengawali pergantian Raja ke 6 (enam) di Gorontalo, agama islam sudah mulai tercium. Kemudian paruh abad ke 15 pada era pemerintahan Amai, islam diterima dan menjadi agama resmi kerajaan. Namun sejak pemerintah kerajaan ditangani Detu sampai kepada anaknya, yaitu Amai, buatula bubato dan buatula bala dipersatukan kemudian menyisipkan kaidah kaidah agama (syariat islam) ke dalamnya, sementara buatulo banthayo masih tetap dipertahankan. Tetapi hal itu hanya terjadi kelak dikemudian hari pada saat Amai sedang memerintah yaitu tahun 1523 sampai pada tahun 1550 masehi.
Kerajaan kuno Hulonthalangi bertahan sampai kepada generasi yang keenam, yaitu Raja Detu. Dan selaku Raja, ia sering kali lalai dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga itu beliau dianggap salah seorang raja yang dungu. Selama berkuasa, amanah rakyat melalui buatulo totolu kadang kala diabaikan, lantas hanya sibuk dengan kegemarannya sebagai seorang yang ahli di bidang kontruksi.
Oleh sebab itu dicatat dalam riwayat pemerintahan kerajaan Gorontalo, terulang lagi seorang raja melakukan kesalahan yang serupa dilakukan oleh Polamolo. Peristiwa menyulitkan dan fatal pertama kali terjadi ketika Polamolo mencabut kekuasaan berupa kewenangan yang diperankan oleh empat linula, antara lain : Linula Lupoyo, linula Bilinggata, linula Hungianaa dan linula Wuwabu. Sebagaimana ke empat linula tersebut berasal dari keturunan bangsawan setempat yang diangkat sebagai Ulea lo Lipu dengan otonomi luas.
Keempatnya selalu mendampingi Raja dalam menyusun rencana kerja dan sampai kepada pelaksanaannya. Selain membantu dalam usaha penerimaan pajak keempat linula itu harus ikut dalam peperangan pada saat Raja melakukan ekspansi (Serangan ke pesisir teluk Tomini). Oleh karena itu empat linula tersebut menjadi penentu kebijakan yang bakal diterapkan semenjak Raja Ilahudu menguasai seluruh linula itu, hingga pada masa pemerintahan Raja Polamolo. Tetapi pada saat kekuasaan itu berada di tangan Raja Detu terjadi lagi perubahan struktur pemerintahan yang lama dirombak lagi oleh para olongia yang terdiri dari tiga buatulo. Demikian selanjutnya, bate selaku perangkat pemerintahan, yaitu petinggi adat dan seluruh bangsawan memikirkan keadaan dan polemik kerajaan, bahwa perlu mengangkat seorang wakil untuk membantu raja dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu kesepakatan yang dicapai pada saat itu adalah tetap mempertahankan Detu sebagai raja kemudian memutuskan dan mengangkat Podungge selaku raja hilir guna mendampingi Raja Detu untuk melaksanakan program kerja pemerintah kerajaan.
Podungge adalah adik kandung Raja Detu, di satu sisi ia adalah saudaran sedarah dan di sisi lain sebagai Raja hilir dalam pemerintahan (Olongia To Huliyaliyo atau Raja di bawah), yang wajib menerima perintah dari Raja Detu selaku raja hulu (raja di atas). Oleh sebab itu Podungge-lah yang memegang peran perting dalam melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya. Sebagai raja hilir (Olongia To Huliyaliyo) dalam sebuah pemerintahan, Podungge membantu Raja Detu menjalankan roda pemerintahan, tetapi sebelum melaksanakannya, mereka menetapkan kerangka dasar penerapan fungsi tiga buah buatula yakni; buatula bubato, buatula bantayo dan buatula bala, sebagai pengganti empat Ulea lo Lipu yang sudah dibubarkan di masa pemerintahan Raja Polamolo. Dan akhirnya kerajaan kuno itu berakhir sejak masuknya islam pada awal pemerintahan Sultan Amai.
Detu mewarisi takhta kerajaan Gorontalo dari pihak Ibunya (Ntihedu), sedangkan Ntihedu sendiri memperoleh kedudukan sebagai Raja atas wafatnya Raja Polamolo. Ntihedu menggantikan Polamolo yang terbunuh oleh para kawula di kerajaan Limboto. Beliau mati dipenggal sebagai bentuk hukuman secara sepihak karena divonish telah meremehkan Kerajaan Limboto. Yaitu satu rumpun/pohalaa di wilayah tempat ibunya diangkat menjadi Ratu. Pandangan seluruh kawula di kerajaan Limboto menilai Polamolo sudah tidak layak menjadi pemimpin bagi kerajaan Limboto. Meskipun takhta kerajaan Gorontalo yang diperolehnya sangat mendasar sesuai konstitusi, yakni mewarisi kedudukan ayahnya selaku raja. Demikian juga halnya takhta kerajaan Limboto mengalir dari pihak Ibunya yaitu Ratu Moliye. Sehingga dengan demikian kedua kerajaan itu berada dibawah kekuasaannya. Namun oleh karena Ia hanya berkonsentrasi pada perkembangan kemajuan Gorontalo, tetapi disisi lain, yakni kerajaan Limboto ia abaikan begitu saja. Maka, persoalan inilah yang mengakhiri karir dan hidupnya serta mengantarkan kerajaan Gorontalo dengan kerajaan Limboto selalu dalam permusuhan selama kurun waktu dua ratus tahun.
Pengertian Dalam Makna U Duluwo Limo Lo Pohalaa.
Istilah Gorontalo-Limboto dan Limboto-Gorontalo memiliki beragam kekayaan dalam bentuk tradisi kuno. Legenda ini dahulu disebut Duluwo Lipu (Dua Negeri). Kedua negeri itu masing masing mempunyai kepala atau pemimpin yang dirajakan. Yakni negeri Hulonthalangi (Sekarang Gorontalo) rajanya bernama Hintelimo, dan negeri Limutu (Sekarang Limboto) rajanya ialah Tobuto. Kemudian makin lama usia kerajaan kecil itu, maka jumlah warganya semakin banyak pula hingga menyebar keseluruh pelosok negeri. Berikutnya pada suatu masa mereka sedang berkembang biak menjadi lima rumpun besar dan masing masing dalam jumlah yang banyak dan sebanding. Antaralain; rumpun Suwawa, Hulonthalo, Limutu, Bulango dan Atinggola, sebagaimana disebut Limo Pohalaa.
Adapun tradisi yang berlaku merupakan satu kesamaan yang berakar dari kelompok kedua orang yang bersaudara itu, Hintelimo dan Tobuto. Sehingga bermula dari populasi kedua orang itu, kemudian lambat laun menjadi lima rumpun besar. Inilah yang dimaksud U Duluwo lo Limo Pohalaa, yang bermakna ”berasal dari dua orang bersaudara kemudian berpopulasi hingga menjadi lima rumpun keluarga atau lima sub etnis”.
Limo Pohalaa itu tumbuh dari kesadaran masing masing pihak yang tidak menginginkan perang saudara terjadi secara berlarut larut. Apalagi bertambahnya konflik yang muncul dari dalam istana kerajaan, karena Raja Detu menerima tiga orang buatulo melakukan perombakan dalam sistim pemerintahan yang sementara berlaku. Tetapi atas sepeninggalannya kemudian digantikan oleh Amai, maka masyarakat di lingkungan Limo Pohalaa mendapat peluang kembali melakukan perubahan di seluruh bidang dan berbagai aspek kehidupan. Kesempatan ini diperoleh karena Amai adalah putra Raja Detu yang dikenal sebagai seorang yang cerdas, arif serta bijaksana.
Kekuasaan di tangan Amai menggambarkan benih demokrasi Gorontalo mulai nampak lebih awal meninggalkan keudikan. Konsep demokrasi itu tumbuh dengan sendirinya dalam genggaman tangan dingin beliau, sebagai suatu kepercayaan yang lahir atas dukungan rakyat. Demikian juga bagi loyalitas dan kepatuhan terhadap nilai nilai syariat islam yang diterima oleh seluruh elemen masyarakat Limo Pohalaa. Bahwa islam datang pada waktu yang tepat, berguna dan efisien. Akhirnya pada paruh tahun 1525, diselenggarakan musyawarah besar dengan maksud dan tujuan untuk melakukan reformasi pemerintahan berdasarkan syariat islam yang mulai diberlakukan. Dimana ketiga buatula yang ditinggalkan oleh Raja Detu dirubah menjadi dua buatula kemudian disisipkan kaidah kaidah agama menurut ajaran islam. Lambat laun syariat islam itu diterima oleh masyarakat secara utuh dan sudah melekat dalam jiwa seluruh rakyat. Dan merupakan akar budaya dalam kehidupan masyarakat Limo Pohalaa. Ikhwal ini sebagai bagian dari kebutuhan tempat mereka berpijak guna mempertahankan jati dirinya. Dari aspek sosial budaya, ekonomi, keamanan, politik dan pemerintahan yang ditandai dengan lahirnya bermacam macam peraturan yang pantang dilanggar, sebagai suatu ketentuan bagi setiap aktivitas dalam kehidupan sehari hari.
Demikian dan seterusnya, terdapat sejumlah tatacara dan petunjuk untuk melaksanakan prosesi dalam berbagai kegiatan demi kelangsungan hajat hidup orang banyak. Sebagai bahagian yang menjadi dasar untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan adat dan hukum adat yang diatur dalam sebuah buku yang disebut ”Tuti”. Buku ini dibuat oleh para bate/petinggi adat, lazimnya berisi catatan catatan mengenai kebobrokan pemerintahan, kesalahan raja-raja dan ketidak aslian darah. Buku tuti menjadi acuan sebagaimana proses penyelenggaraan pemerintahan, di dalamnya mengatur perilaku bernegeri dan bertindak selaku aparatur. Terutama bagi lapisan masyarakat di bawah. Selain itu, bagi golongan elit dalam pandangan hidup yang mutlak bagi kepemimpinan untuk mewujudkan sebuah demokrasi terhadap tumbuh dan berkembangnya masyarakat Gorontalo-Limboto dan Limboto-Gorontalo, terasa masih membekas sampai saat ini.
Meski tampak di satu sisi Gorontalo dan Limboto dapat dikatakan termasuk rendah pencapaiannya dalam usaha memperoleh kemajuan di bidang teknologi. Bahkan ditinjau dari aspek peradaban, barometer beradab dari sudut pandang orang-orang Eropa bagi penduduk asli yang dijumpai, adalah berdomisili secara tetap dan mengenal agama serta dapat berinteraksi dengan mereka. Tetapi hal seperti itu tak banyak ditemukan di Gorontalo dan Limboto sebelum agama islam masuk.
Lahirnya Kesultanan Gorontalo dan Kesultanan Limboto
Sejalan dengan laju pertumbuhan dua negeri ini, dapat dilihat dari loyalitas seluruh linula yang sejak awal turut menyesuaikan diri mengikuti perkembangan zaman, hingga menjadi kerajaan kecil. Negeri LLimboto didukung oleh sebagian linula linula sementara Gorontalo ditopang pula separuh dari linula yang ada. Tetapi keunggulan negeri Gorontalo jauh lebih memadai karena memilik pelabuhan laut sebagai bandar perdagangan produk barang; hasil hutan, rempah-rempah dan sandang-pangan. Meskipun kedua kerajaan ini merupakan awal dari kisah dua negeri lama yang terbentuk menjadi sebuah kerajaan kuno, tetapi tidak menimbulkan konflik hingga kerajaan Hulonthalangi didirikan pada akhir abad ke-13 melalui proses pengembangan pola pikir masyarakatnya di masing masing pihak.
Akhirnya pada penghabisan abad 15 ditunjang oleh perkembangan lingkungan kerajaan kerajaan yang sudah maju yang terdapat di luar kawasan teluk Tomini, seperti kerajaan Ternate, kerajaan Gowa-Tallo di Makassar dan kerajaan Buton, maka bagi Kerajaan Gorontalo dan Limboto layak menjatuhkan pilihannya kepada Ternate sebagai mitra dan tempat berakulturasi. Raja raja Gorontalo maupun Limboto merasa lebih nyaman dan cepat mengakses kebutuhan pokoknya untuk menghadapi persoalan sosial di negerinya, jika Gorontalo menjadi bahagian dari koaliasinya.
Dibandingkan dengan kerajaan Gowa-Tallo yang diklaim sebagai agresor oleh Portugis dan Spanyol maupun V.O.C. Sedang kerajaan Buton yang nampak lebih dekat dianggap tidak dapat memberi kontribusi kepada Gorontalo mengingat kerajaan itu sedang menghadapi ancaman dari Raja Gowa-Tallo.
Hulonthalangi serupa dengan kerajaan kerajaan kuno lainnya pada masa lampau. Sistem pemerintahan yang berlaku dalam kerajaannya lebih banyak diwarnai dengan unsur musyawarah yang memadukan struktur feodalisme dan demokrasi. Rangkaian hubungan horisontal diantara mereka melahirkan sebuah federasi yang disebut Limo Pohalaa, yang terdiri dari Bone (Suwawa), Bulango, Hulonthalo, Limutu dan Atinggola. Pada masa perkembangannya masing masing membentuk dirinya sebagai pemerintah kerajaan yang berdaulat. Adapun kemajuan yang dialami tertumpu atas interaksi dengan kerajaan Ternate-Tidore dan juga kerajaan Gowa. Tetapi hadirnya kekuatan kolonial berdampak dan berakibat pada sistim kepemimpinan yang sudah dibentuk oleh pendirinya mulai terhambat.
Adat istiadat dan agama dianggap sebagai penghalang tujuan imperialisme dan kolonialisme yang dikembangkan oleh bangsa bangsa Eropa. Pada akhirnya seluruh tatanan sosial dalam federasi komunitas adat (Limo lo Pohalaa) semakin lama makin tak dapat diterapkan, takluk oleh kepentingan kolonial. Walaupun sesungguhnya pemersatuan dari masing masing rumpun warga/pohalaa yang didirikan diharapkan dapat memberi daya, tenaga baru dan meningkatkan spirit dalam perjuangan melawan kolonialisme.
Meskipun pada zaman itu Gorontalo berada di era semaraknya kehidupan adat istiadat, atas gagasan para elit Gorontalo, Limboto,Suwawa, Bulango dan Atinggola pasca merumuskan Limo Pohalaa. Sebagai federasi atas lima rumpun yang dapat mengikat erat persaudaraan, merupakan urat nadi yang menggambarkan adanya peran dan fungsi sosial dan harus dipatuhi karena mengandung unsur kebajikan terutamanya persatuan dalam kehidupan sosial. Sebagai masyarakat yang patuh terhadap aturan adat, Gorontalo Secara keseluruhan ketika itu adalah salah satu bekas mitra Portugis kemudian menjadi koloni Belanda yang memiliki keunikan di dalam melaksanakan rencana kerja kerajaan dan dalam memanfaatkan ketersediaan potensi sumberdaya yang ada.
Pada zaman kekuasaan Sultan Eyato di Gorontalo, terulang kembali peristiwa perombakan sistem dalam pemerintahan. Hal dimaksud adalah, struktur dasar pemerintahan disatukan menjadi banthayo pomboide dengan melibatkan seluruh pemuka masyarakat, yang berfungsi sebagai sosial kontrol. Sebagaimana diperankan dan menjadi tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat untuk menentukan masa depan pemerintah kerajaan. Sultan Eyato kemudian mendirikan banthayo/pendopo sebagai tempat bermusyawarah yang disebut dulohupa. Oleh sebab itu pada fase ini disebut sebagai gelombang perubahan kedua dan sangat mendasar atas terbentuknya kesultanan Gorontalo-Limboto dan Limboto-Gorontalo seutuhnya dan moderat, setelah Sultan Amai meletakkan dasar dasar pemerintahan islami.
Catatan :
Duluwo lo Limo Pohalaa terkandung dua makna yaitu makna implisit dan makna eksplisit, sbb :
1. Makna implisit bahwa, Duluwo (dua) berarti/menyimbolkan dua orang bersaudara yakni, Hintelimo dan Tobuto. Mereka adalah anak dari Humalanggi ke-2. Selanjutnya dari dua orang inilah hingga mereka berpopulasi dan lama kelamaan menjadi lima rumpun (limo pohalaa).
Tujuannya:
Menghimpun seluruh pohalaa (5 rumpun) dari perpecahan/permusuhan selama kurang lebih dua ratus tahun menjadi satu kesatuan dalam perdamaian
2. Makna eksplisit, adalah Dua kesultanan yaitu kesultanan Gorontalo dan kesultanan Limboto, Raja yang dipilih adalah seorang Sultan yang terdiri lima rumpun itu, yakni orang-orang pribumi (penduduk asli) yang berada di lingkungan kerajaan Suwawa, Bulango, Hulonthalo, Limutu dan Atinggola.
Tujuannya:
Menghimpun seluruh kerajaan ( Suwawa,Gorontalo,Limboto,Bulango dan Atinggola) dari perpecahan selamat masa kolonialisme menjadi satu kekuatan dalam melawan penjajahan.
Kesultanan Gorontalo membendung serangan musuh dari arah selatan (Perairan teluk Tomini) dan kesultanan Limboto membendung serangan musuh dari arah utara (Perairan laut Sulawesi).