Penulis artikel: Maman Ntoma (Budayawan/Sejarawan)
Koordinat.co – Di Wuna atau Pulau Muna merupakan suatu kawasan wilayah eksotis sebagai sebuah bekas kerajaan tua di Sulawesi Tenggara. Menurut kisahnya, adalah dahulu sebuah perkampungan kuno yang luas, namun kemudian Wuna saat ini lebih dikenal dengan nama Muna. Wuna memiliki peranan yang cukup penting dalam kancah pergolakan politik dan juga pemerintahan pada zamannya. Kebesaran dan pengaruhnya tercatat dalam lembaran sejarah, baik berbentuk manuskrip sebagai artikel sejarah di era kekunoan, maupun dalam bentuk artefak bangunan masa lampau. Dalam padanya dapat disaksikan sisa sisa peradabannya yang masih membekas dan saat ini sedang dilestarikan. Misalnya benteng kerajaan terpanjang di dunia yang terdapat di kota itu.
Masa lalu Muna sebagaimana diketahui dalam naskah kuno La Galigo mengisahkan tentang Wa Tandiabe, atau dikenal sebagai saudara kembar emas seorang pengembara bernama Sawerigading. Dan dalam artikel sejarah lainnya menerangkan kebesaran Kerajaan Wuna selain tersimpan di museum KTVL Denhag Belanda, juga dapat ditemukan di perpustkaan Nasional dan Regional. Sedangkan artefak dan jejak-jejak peradabannya yang masih tersisa, belum maksimal dilakukan penelitian dan belum terpublikasi pada khalayak umum, sehingga popularitas pada zamannya tidak diketahui oleh masyarakat luas. Oleh sebab itu pada kesempatan ini saatnya mengangkat beberapa sisa-sisa peradaban kerajaan Wuna, mulai dari awal terbentuknya kerajaan Wuna pada awal abad ke 13 ( thn 1345 masehi) sampai pada perjuangan rakyatnya menentang kolonialisme Belanda dan invasi kerajaan-kerjaan besar yang ada di sekitarnya.
Kerajaan Muna atau Wuna merupakan salah satu kerajaan kuno dan pertama di wilayah Sulawesi Tenggara yang didirikan sekitar tahun 1210. Sebutan Pulau Muna oleh penjajah Belanda biasa juga disebut Pangasena dan Pansiano dan atau Pancana. Kerajaan ini terletak di bagian utara Pulau Muna dan beribukota di Kotano, sekitar lokasi Keraton Muna (kini Kecamatan Tongkuno). Raja yang pertama sebagai pemimpin adalah seorang Bangsawan Melayu keturunan Bani Abasiah yang bernama Syekh Al Wahid alias La Eli, dan alias Baidhuldhamani bergelar Bheteno ne Tombula Alias Remmang Rilangiq yang menikah dengan Wa Tandiabe (We Tenriabeng) adik Sawerigading (Naskah I lagaligo).
Sejarah Awal Kerajaan Muna
Sebagai kerajaan tua, sejarah telah mencatat dan menyajikannya kronik awal pada tahun 1210 dalam tiga bagian dengan permulaan datangnya Wa Tandiabe (We Tenriabeng) di Danau Napabale. Berikut masuknya misionaris Islam ke 3 Saidi Raba ( 1663 ) dan pembuatan benteng pertahanan di Kota Wuna oleh La Kilaponto selaku Raja Wuna ke 7 dan dilanjutkan oleh La Posasu Raja Wuna ke 8.
1.Datangnya Wa Tandi Abe ( We Tenriabeng) Gelar Sangke Palangga di Napa Bale.
Danau Napa Bale adalah danau air asin yang terletak di Desa Wabintingi Kecamatan Lohia berjarak sekitar 17 Km dari Raha Ibukota Kabupaten Muna. Danau ini memiliki air yang berasa asin karena terhubung langsung dengan lautan ( Selat Buton ) oleh terowongan sepanjang 17 meter.
Terowongan yang menghubungkan Danau Napabale dengan lautan tersebut menjadi rute transportasi masyarakat Desa Wabintingi yang berprofesi sebagai nelayan. Keberadaan di tempat yang alami itu, senantiasa digunakan untuk bepergian melalui jalur laut, mencari berbagai komuditi hasil laut maupun saat pulang mencari ikan sebagai mata pencaharian utama nenek moyang suku Wuna.
Selain memiliki panorama eksotik, terkesan pula menyimpan sejarah peradaban masa lalu. Menurut sumber sejarah, beberapa temuan artefak mengandung sejarah berkaitan dengan keyakinan masyarakat yang telah menjadi legendanya. Masyarakat percaya bahwa permaisuri Raja Wuna Ke- 1 Bheteni Netombula ( Saudara kembar Sawerigading? ) yakni Wa Tandiabe ( We Tenriabeng? ) di temukan oleh masyarakat di danau tersebut ( La Kimi Batoa, 1991 ). Sesuai tradisi lisan masyarakat Wuna, Wa Tandiabe adalah Puteri Raja Luwu di Sulawesi Selatan yang datang di Wuna dan mendarat di Danau Napabale dengan menupang pada sebuah ‘’Palangga’’ atau talang. Olehnya itu Wa Tandiabe di gelar Sangke Palangga atau orang yang menumpang di Palangga (Talang). Dari perkawinan Bheteno Ne Tombula dan Wa Tandiabe kemudian menurunkan raja-raja di Kerajaan Wuna (Anhar Gongnggong, 2000). Raja Wuna ke-2 La Aka gelar Sugi Patola adalah salah satu dari tiga orang anak dari Bheteno Ne Tombula dan Wa Tandiabe.
Masih menurut legenda yang berkembang dalam hikayat pada tradisi tutur masyarakat Wuna, sebelum ditemukannya Wa Tandiabe di Napa Bale, telah di temukan seorang pemuda di dalam rumpun bamboo (ada yang menyebutnya dalam ruas bamboo). Diceritakan oleh sekelompok orang di Wameai pada saat mencari bamboo dalam hutan dan usai ditemukan, pemuda tersebut mengalami dirinya bernama La Eli.
Selang beberapa saat setelah ditemukan, terumbar kabar ditemukan seorang putri yang menupang sebuah Palangga (talang) di Napa Bale. Puteri terebut mengaku bernama Wa Tandiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenriabeng, satu nama riwayat seorang wanita di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, atau seseorang yang artikan sebagai penghuni langit/surga. Diperkirakan sebelumnya adalah kemungkinan saja Wa Tendiabe adalah keturunan We Tenriabeng (Anhar Gonggong, 2000).
Bersambung…
Sumber:
- Buku sejarah kerajaan Wuna dan Kesultanan Buton.
- Sureq I La Galigo.
Literatur pendukung:
- Naskah/Tulisan Prof.Dr.Samin Radjik Nur, SH (Buku Bangsa Limo Pohalaa).
- Bundel Kumpulan Prosesi Adat Istiadat Suku Gorontalo.
- Manuskrif kuno kerajaan Bulango.
- Buku sejarah asal usul suku Toraja (Puang Lembang/Manusia berperahu), oleh; Prof.Dr. LT Tandilintin.
Tulisan ini disadur dari akun facebook Maman Ntoma pada group facebook Komunitas Pemerhati Sejarah & Budaya Sulawesi