Oleh : Muhsin Labib
Siapapun dia, kalau buruk tetaplah buruk. Tapi mengapa yang menurut banyak orang nyata buruk punya banyak pengikut dan cukup merepotkan?
Meski mungkin kita mengecamnya dan menentang aksinya bahkan sebagian dari kita mencemooh rasnya juga mencelanya dengan aneka sebutan buruk, mengapa banyak yang patuh gila kepadanya Pertanyaan ini bukan soal pro atau kontra terhadap pandangan, pernyataan dan aksinya. Ini soal fakta ironik yang kerap membuat banyak tak habis pikir tentang banyaknya orang yang rela menjadi perisai dan umatnya.
Apakah karena punya definisi tentang baik dan buruk juga benar dan salah yang berbeda dengan definisi para penentangnya? Atau karena sosoknya dan kharismanya juga keberaniannya? Atau karena pandangan ekstrem yang kerap disampaikannya dalam retorika keras? Atau karena moment pertama dengan isu besar yang diangkatnya hingga penguasa pun terkesan ragu-ragu menghadapinya secara tegas? Atau karena justru dibesarkan oleh banyak individu masyarakat yang terlanjur beragama secara ekstrem? Atau karena jadi akibat korban bisnis opini yang menciptakan post trust dalam kompetisi palsu?
Siapapun bisa menjadi tokoh besar dan diikuti oleh banyak orang meskipun tak punya keunggulan pengetahuan dan lainnya, bila sukses menjadikan dirinya sebagai titik temu elemen-elemen penting yang berlainan. Banyak individu dibesarkan oleh kelompoknya sekeyakinan dan seetnisnya. Tapi jarang individu justru dibesarkan oleh selain kelompok sekeyakinan dan seetnisnya.
Faktanya dia adalah irisan dalam semua kelompok agama. Pertama, dalam akidah bertemu dengan Islam mainstream di Indonesia; Kedua, dalam aksi dan pergerakan sama dengan kelompok-kelonpok puritan anti tradisi dan pengusung khilafah.
Suka atau tidak suka, ketika seorang habib yang secara kultural NU bahkan menempati posisi khusus di tengah mereka karena ikatan primordial dan emosional, sekaligus mengkombinasikannya dengan pandangan yang cenderung puritan dalam isu sosial terkait kemaksiatan lalu isu politk identitas yang agresif termasuk penegakan syariah dan khilafah, berpeluang menggeser tokoh besar yang hanya dihormatj oleh salah satu dari dua kelompok Islam tersebut. Dia dan gerakannya menyedot dua massa Islam sekaligus, meski boleh jadi dukungan kepadanya hanya emosional dan temporal karena isu dan sentimen yang jadi daya tariknya bersifat dinamis dan kontekstual. Dielu-elukan oleh massa yang suka maulid sekaligus didukung oleh kelpmpok-kelompok yang rajin membid”ahkan tahlil dan pro khilafah
Tak hanya itu, meskipun komunitas Syiah pada umumnya punya kriteria keulamaan ketat yang menjadi asas otoriras transenden dan kompetensi serta membentuk hierarki kepatuhan vertikal, beberapa individu di dalamnya secara konsisten memberikan apresiasi melawan opini dominan komunitas ini yang cenderung menolaknya.
Pertanyaan pentingnya, apakah dia dibesarkan oleh massa ataukah dia menciptakan massanya sendiri? Ataukah dia dan massanya adalah sebuah produk?
Menurut saya, massa intoleran selalu ada dalam masyarakat dan bukan karena tokoh yang membentuknya bukan karena import dari daerah luar, namun dibentuk oleh doktrin yang tersimpan di balik ratusan teks dan ditanamkan dari masa ke masa melalui aneka sarana dan dalam beragam acara. Siiapapun yang jadi pemimpin hanyalah penghimpun individu-individu intoleran yang berserakan. Individu yang menjadi penghimpun dan mobilisator pun adalah produk doktrin teologi yang memberinya hak dan kesempatan memobilisasi massa itu.(R01)