Oleh: Amato Assagaf
Kenapa aku merasa jalan yang kita tempuh tak lagi sama? Cerita yang dimulai dari perjalanan tubuh mencari tubuh di antara tubuh-tubuh seolah akan berakhir sebagai kisah-kisah cengeng para remaja di kota-kota tanpa warna biru.
Kenapa aku merasa api di menara itu telah padam dan putri tunggal kata hanya tinggal kata di antara kata-kata? Bukankah pernah aku katakan bahwa kau adalah imajinasi puitik dalam dunia cerpen Jorge Luis Borges yang tak pernah sempat dia tuliskan? Semesta yang diludahkan dari pahit mulut tuhan yang tersesat, dahaga dan merana. Rahasia yang dibisikkan para pertapa kepada bunga-bunga dalam ziarah ribuan Buddha ke tingkap langit Golgota di hari penyaliban Sang Anak Manusia. Ataukah kau hanya impian mustahil penyair tua yang jatuh cinta pada puisi yang tak pernah bisa dia ciptakan?
Entahlah, entahlah…
Sepi itu begitu perih.
Di mata selalu bisa aku temukan jawaban tapi tangis yang terlanjur telah mengaburkan pandangan. Kau memang permata tapi mungkin bukan untukku. Bukan rahim bagi putra yang akan kita ciptakan setelah kematian dewa-dewa. Bukan Arum, bunda yang tak tercatat dalam sejarah para nabi. Ah, doaku tak lebih ringkih dari harapanku yang selalu sia-sia. Tapi kenapa kita bersua dan tinggal berdua dalam perjalanan itu? Saling berjanji untuk setia pada langkah kaki seperti nabi-nabi orang Yahudi. Dan kenapa kau bisa tertawa saat aku gembira juga menangis ketika aku bersedih, seolah kau bisa membaca sandi sukma yang dituliskan ibuku di hari kelahiranku? Ataukah kau hanya takut pada serapah sepi yang telah menjadi kutukanku? Pada keabadian diri di dalam telinga Dewa Ruci.
Entahlah, entahlah…
Sepi itu begitu perih.
Baiklah, kita akan berhenti jika itu yang kau inginkan kini. Tapi izinkan aku menyimpan kenangan bahwa di suatu masa ketika Taman Rusa Isipatana tak lagi mampu memikul sabda Siddharta, aku pernah bertemu seorang gadis yang bisa menjelma padang telanjang, tanah-tanpa-dangka yang hanya bisa dijejaki manusia setengah dewa. Tahukah kau bagaimana gadis itu menghiasi duniaku? Dia menghapus judul-judul puisiku dan menggantinya dengan kata, hanya kata, agar aku bisa berumah dalam hatiku dan berdamai dengan cerminku. Jadi, jika kau ingin kita berhenti, kita akan berhenti. Tapi izinkan puisiku tetap berjalan dengan gadis itu. Setidaknya untuk mencari jawaban kenapa kita berjumpa padahal kau tak pernah ada.
Entahlah, entahlah…
Sepi itu begitu perih.
Dan jika nanti aku mati, datanglah meski sebentar, agar aku bisa meminjam sejuk pada matamu sebelum api kremasiku membakar jasadku menjadi abu. Seperti di pagi itu.
Mokupa, 25 Desember 2020