Oleh : Muhsin Labib
*Dalam dinamika global, frasa “minoritas kuantitatif terlihat sebagai mayoritas kualitatif” dan sebaliknya menggambarkan sebuah paradoks yang relevan, terutama dalam konteks perjuangan Palestina melawan pendudukan Israel yang didukung penuh oleh Amerika Serikat dan Barat. Paradoks ini terlihat jelas ketika kita mengamati peran umat Islam Sunni dan Syiah dalam menyikapi isu ini.
Umat Islam Sunni, yang secara kuantitatif merupakan mayoritas, sering kali tampak pasif dalam isu Palestina. Sebaliknya, umat Islam Syiah, meskipun minoritas secara jumlah, menunjukkan sikap progresif dan militan dalam perlawanan terhadap Israel. Fenomena ini mengundang refleksi mendalam tentang kualitas perjuangan, solidaritas umat, dan urgensi konsolidasi.
Secara kuantitatif, umat Islam Sunni mendominasi dunia Islam dengan jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan Syiah. Dengan populasi yang mencakup mayoritas di negara-negara seperti Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Arab Saudi, Sunni memiliki potensi besar untuk menggerakkan dukungan politik, ekonomi, dan militer bagi Palestina. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak negara Sunni, terutama di tingkat pemerintahan, cenderung pasif atau bahkan berkompromi dengan kepentingan Barat dan Israel.
Normalisasi hubungan diplomatik beberapa negara Teluk dengan Israel melalui Abraham Accords adalah contoh nyata bagaimana kepentingan geopolitik dan ekonomi sering kali mengalahkan solidaritas dengan Palestina. Di level masyarakat, meskipun ada simpati luas terhadap Palestina, aksi konkret seperti boikot produk pro-Israel atau tekanan politik terhadap pemerintah sering kali tidak terorganisir dengan baik.
Di sisi lain, umat Islam Syiah, yang secara kuantitatif adalah minoritas, menunjukkan kualitas perjuangan yang luar biasa. Iran, sebagai pusat kekuatan Syiah, bersama dengan kelompok seperti Hizbullah di Lebanon dan faksi-faksi Syiah di Irak serta Yaman, secara konsisten mendukung perlawanan Palestina baik melalui bantuan militer, logistik, maupun narasi anti-Zionisme. Sikap progresif ini tidak hanya terlihat pada level negara, tetapi juga di akar rumput, di mana komunitas Syiah sering kali lebih vokal dan terorganisir dalam menyuarakan isu Palestina. Kualitas perjuangan mereka tercermin dari keberanian menghadapi tekanan internasional, sanksi ekonomi, dan risiko militer dari Israel serta sekutunya. Dalam hal ini, Syiah menjadi “mayoritas kualitatif” karena dampak perjuangan mereka jauh lebih signifikan dibandingkan jumlah mereka yang relatif kecil.
Namun, penting untuk tidak memandang fenomena ini sebagai dikotomi yang memecah belah. Baik Sunni maupun Syiah memiliki akar teologis dan historis yang mendukung keadilan dan perlawanan terhadap penjajahan. Perbedaan sikap saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik, kepentingan nasional, dan manipulasi eksternal ketimbang esensi ajaran Islam itu sendiri. Israel dan sekutunya, dengan dukungan Barat, secara strategis memanfaatkan perpecahan Sunni-Syiah untuk melemahkan solidaritas umat Islam terhadap Palestina. Narasi sektarian yang sengaja dihembuskan, seperti ketakutan terhadap “ekspansi Syiah” atau tuduhan bahwa Sunni “terlalu lunak” terhadap Israel, hanya menguntungkan pihak yang ingin melihat umat Islam terpecah.
Paradoks kuantitatif dan kualitatif ini mengajarkan bahwa jumlah bukanlah segalanya. Sebuah kelompok kecil yang terorganisir, memiliki visi jelas, dan berani bertindak dapat menciptakan perubahan yang jauh lebih besar dibandingkan mayoritas yang pasif. Namun, potensi sejati umat Islam terletak pada persatuan. Jika mayoritas kuantitatif Sunni dapat mengadopsi semangat progresif dan militansi ala Syiah, dan sebaliknya, jika Syiah dapat memperluas jaringan solidaritasnya dengan Sunni, maka umat Islam akan menjadi kekuatan yang tak terbendung dalam memperjuangkan keadilan bagi Palestina.
Oleh karena itu, ajakan untuk konsolidasi umat Islam menjadi sangat mendesak. Konsolidasi ini bukan sekadar seruan emosional, tetapi harus diwujudkan melalui langkah konkret: dialog antar-mazhab untuk meredam prasangka sektarian, pembentukan aliansi strategis di tingkat masyarakat sipil dan pemerintahan, serta penguatan narasi bersama yang menempatkan Palestina sebagai isu sentral umat. Masjid, pesantren, universitas, dan platform media harus menjadi ruang untuk membangun kesadaran kolektif. Boikot ekonomi terhadap produk-produk pro-Israel, tekanan diplomatik terhadap negara-negara yang mendukung Zionisme, dan dukungan nyata untuk rakyat Palestina harus menjadi agenda bersama.
Mari, wahai umat Islam, baik Sunni maupun Syiah, melampaui batas-batas kuantitatif dan kualitatif. Jadilah mayoritas dalam jumlah dan kualitas, bersatu dalam semangat Al-Quds yang suci. Palestina bukan hanya milik satu mazhab, tetapi tanggung jawab seluruh umat. Dengan persatuan, kita bukan hanya akan menjadi suara, tetapi juga kekuatan yang mengguncang dunia demi keadilan dan kemerdekaan Palestina. Ayo, konsolidasikan langkah kita sekarang!