Koordinat.co, (Opini) – Jauh sebelum Republik Indonesia diproklamirkan sebagai sebuah negara baru, bahkan jauh sebelum begundal imprealis asing datang memperalat penduduk dan merampok kekayaan sumberdaya alam dan sumberdaya intelektual di berbagai pulau di Nusantara ini, telah banyak individu dalam masyarakat kita yang berprofesi sebagai penambang, termasuk tambang emas.
Menurut berbagai sumber lisan dan tertulis, pada umumnya pertambangan emas bukanlah sebagai pekerjaan sehari-hari atau pekerjaan utama. Mereka menambang, hanya jika untuk membiayai agenda atau pembangunan yang membutuhkan dana yang relatif besar. Sedangkan untuk pembiayaan kehidupan sehari-hari tetap bersumberkan dari pendapatan pekerjaan pada umumnya seperti bertani, beternak, berdagang, nelayan, kuli dan lainnya.
Kenyataan seperti itu, umumnya berlaku pada berbagai komunitas yang tersebar dengan berbagai sebutan di seluruh dunia. Sebutlah misalnya suku Indian di benua Amerika, berbagai suku di pulau Buru, berbagai kerajaan (pohalaa) di Gorontalo dan lainnya. Mereka semua menjaga sumberdaya emasnya dengan menambangnya sesuai kebutuhan penting dan mendesak. Mereka semua menjadikan sumberdaya emasnya sebagai common property, sebagai milik bersama dan untuk kepentingan bersama sebagai tabungan anak cucunya sepanjang masa seiring perkembangan peradaban yang sejarahnya, juga adalah sejarah tambang.
Namun karena para begundal imprealis asing dengan berbagai cara telah berhasil menancapkan kuku kanibalnya dengan membeli, merebut pengaruh, regulasi dan memperalat kekuatan pemegang kekuasaan negara yang serakah, dzalim dan korup.
Mereka berhasil menyandera dan mengeruk berbagai sumberdaya kekayaan bangsa termasuk emas seperti di Freeport dan lainnya. Sejak saat itu, mulailah putera-puteri negeri hanya menjadi penonton atau pemain figuran yang siap dilibas jika tidak mengikuti aturan main yang mereka buat atasnama negara dan atasnama rakyat secara sepihak.
Melihat kenyataan seperti itu, sejumlah anak negeri yang memiliki hubungan historis dengan pertambangan emas terpaksa berusaha menandingi dengan menambang tabungan emas yang terancam dikuras habis-habisan oleh mereka dengan teknologi dan modal yang nyaris tak terbatas.
Namun karena mereka telah menguasai regulasi dengan berbagai perangkat aturannya secara legal, jadilah pertambangan rakyat dituding dengan stigma ilegal, tanpa izin, liar dan lainnya.
Oleh karena seperti itu, pertambangan rakyat perlu mengorganisasikan diri dan menata langkah dengan taktik dan strategi jitu yang bisa menyejahterakan kehidupan masyarakat dan menjaga kesehatan lingkungan alam yang bebas dari ancaman penyakit dan bencana.
Untuk memenuhi harapan tersebut tentu saja bukan soal mudah yang bisa segera disepakati, melainkan butuh rangkaian diskusi dan sosialisasi terutama dikalangan keluarga penambang itu sendiri sebagai pelaku utama.
Secara sederhana, pengorganisasian penambang rakyat dapat dimulai dengan menetapkan (bersama pemerintah) berapa maksimal organisasi pada suatu lokasi tambang dan apa syaratnya. Setelah itu individu penambang yang belum terdaftar dapat menggabungkan diri masing-masing pada organisasi yang telah terbentuk dan ditetapkan bersama pemerintah setempat.
Beberapa organisasi penambang tersebut dapat merumuskan berbagai aturan internalnya sebagaimana lazimnya dan bagaimana menunaikan tanggung jawab terhadap masyarakat sekitar lokasi tambang dan terhadap lingkungan alam yang terkait habitat lokasi tambang.
Jika sumberdaya emas masih dipandang dan disepakati sebagai common property atau sebagai milik bersama dan untuk kepentingan bersama maka semestinya sedari awal telah menyiapkan diri memenuhi berbagai tanggungjawab. Tanggungjawab untuk hal ini, minimal dan antara lain seperti berikut:
1. Setiap pengambilan sumberdaya emas dengan nilai tertentu yang disepakati, mestinya disertai dengan penggantian dengan nilai yang minimal sama untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat termasuk menjaga kesehatan lingkungan alam yang bebas dari ancaman penyakit dan bencana.
2. Rehabilitasi lahan pasca tambang wajib dilakukan dengan berbagai skenario untuk menormalkannya atau sekalian ke bentuk fasilitas yang lebih produktif seperti berbagai embung yang dapat menampung air pada saat musim penghujan dan menjadi sumber air irigasi pada musim kemarau sambil melengkapinya dengan berbagai fasilitas ekonomi seperti budidaya ikan dan wahana wisata atau hiburan yang produktif.
3. Jika semua pihak, organisasi rakyat penambang dan perusahaan tambang melakukan hal ini, maka keduanya bisa berjalan berdampingan dan tidak alasan yang tepat untuk menegasikan organisasi rakyat penambang emas dengan berbagai sebutan yang busuk.
4. Lebih elegan dan egaliter lagi jika semua pihak membuka semacam sekolah pertambangan bagi putera-puteri masyarakat sekitar lokasi tambang dan memberinya ruang bekerja pada perusahaan lalu membuka akses kepemilikan saham perusahaan hingga semua pihak menjadi pemilik perusahaan yang bisa menikmati keuntungan bersama atas hasilnya, termasuk bencana dan penyakit yang semoga saja kelak tidak terjadi. (atdm)
Selamat hari raya Idul Fitri 1446 H.