Oleh : Adrian Pianus (Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Indonesia Gorontalo Utara)
KOORDINAT.CO, (OPINI) – Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 mendatang, sudah menjadi kebiasaan para elit untuk menebar simpati public. Baik melalui baliho, media sosial dan lain lain. Pemilu 2024 terhitung masi satu tahun lagi, namun pesan-pesan politik telah lebih dulu melangkah sebelum sangkakala pertandingan dibunyikan.
Mereka yang ikut kontestasi Pemilu 2024 sudah pasti menyiapkan strategi andalannya masing-masing bagaimana meraih dukungan public untuk memenangkan Pemilu baik legislative maupun eksekutif. Saat ini menjelang Pemilu 2024 sudah mulai nampak di permukaan berbagai macam pendekatan, salah satunya pendekatan public relations; sudah banyak muncul di permukaaan program-program yang melibatkan partisipasi masyarakat, agar ingatan publik selalu terikat kepada penyelenggara program.
Sementara itu, Proses Pemilu merupakan siklus elit yang akan menentukan agenda pembangunan ke depan, ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Sebagaimana Vilfredo Pareto (dalam Wiliam D Perdue, 1986) memberi catatan penting, bahwa sirkulasi elite itu selalu bersifat resiprokal dan mutual interdependence, atau punya ketergantungan bersama.
Artinya penulis memandang bahwa dengan proses yang baik, kualitas yang baik, dan integritas, peluang lebih besar untuk mengembangkan pemimpin transformasional yang dapat mendorong perubahan bersama. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan penguatan institusi demokrasi Indonesia, karena elite yang lahir akan menempati posisi penting di tingkat pemerintahan.
Definisi awal politik pada dasarnya adalah keinginan bersama warga Negara untuk mewujudkan kehidupan bersama yang aman, dan tenteram. Hal yang demikian sejalan dengan konsep demokrasi yang digagas sejak awal kemunculannya dalam Negara-Kota di Yunani, bahwa Negara yang ideal adalah Negara yang memberikan jaminan kehidupan yang layak terhadap warga negaranya dengan kesadaran, bahwa rakyat adalah bagian terpenting dalam model Negara demokrasi atau dalam pengertian rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi.
Politik juga dapat diuraikan sebagai usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Di Indonesia dikenal pepatah gema ripah loh jinawi yang berarti kehidupan yang serba berkecukupan dalam berbagai hal. Artinya kearifan lokal Indonesia ini sepadan dengan apa yang dikemukakan oleh para filsuf Yunani Kuno seperti Plato, dan Aristoteles yang menyebut en dam onia yang berarti kehidupan yang baik. (Budiardjo, 2010: 13) Politik dalam artian untuk mencapai kehidupan yang lebih baik sangat penting, karena sejak masa dahulu masyarakat selalu berusaha hidup secara kolektif atau bersama untuk mengatasi hambatan yang dihadapinya, seperti masalah sosial, keterbatasan sumber daya alam, dan lain-lain.
Sebab manusia juga harus saling bersaing untuk memperebutkan sumber daya alam yang terbatas, karena tabiat manusia ada yang baik dan ada yang buruk. Keberadaan tabiat buruk manusia inilah yang membuat politik terjerumus pada penurunan artikulasi makna dimana politik di asosiakan dengan perilaku yang tidak terpuji untuk memperebutkan kekuasaan.
Upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut, dalam Negara demokrasi disebutkan salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan jalan pelaksanaan pemilihan umum, di mana rakyat diberikan kesempatan yang sama untuk menggunakan hak politiknya. Juga merealisasikan Pemilu berkualitas dan berintegritas tentu banyak tantangan yang akan di hadapi.
Seperti halnya kampanye di Indonesia belum benar-benar menjadi sarana pendidikan politik untuk warga. Masa kampanye sepanjang perjalanan masi dominan di isi oleh sensasi di banding subtansi. Masa kampanye belum menjadi ajang adu gagasan dan program, melainkan hanya seputar pertarungan isu-isu yang muncul di permukaan.
Lantas bagaimana dengan pelaksanaan Pemilu di Indonesia 2024 nanti…?
Belajar dari pelaksanaan Pemilu 2019 yang banyak menyisakan polemik, mulai dari masa kampanye yang terlalu lama, penyebaran hoax saat masa kampanye, pelaksanaan logistic Pemilu, di mana secara Nasional ada 10.520 TPS yang mengalami kekurangan logistic Pemilu, kotak suara yang diterima KPPS tidak disegel terjadi di 6. 474 TPS, Surat suara yang tertukar antara daerah pemilihan atau antar TPS, dimana berdasarkan data Bawaslu kasus ini terjadi di 3. 411 TPS, penanganan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan Tahap 3 (DPThp 3) yang dilakukan oleh KPU baru tuntas pada tanggal 8 april 2019, yaitu 9 hari sebelum hari pencoblosan.
Berarti mundur 21 hari dari jadwal yang di tetapkan KPU, yaitu 19 maret 2019. Juga berbagai kepentingan kelompok maupun individu, politisasi birokrasi, maraknya politik uang, serta tingginya intensitas pemilu. Perhitungan hingga lamanya waktu rekapitulasi di tiap TPS yang sangat lama, sehingga banyak anggota KPPS yang mengalami sakit dan meninggal dunia. Banyak pemilih yang tidak terdaftar di tiap TPS, namun banyak pemilih yang bisa ikut mencoblos pada 2019 kemarin. Meskipun demikian hal tersebut, bukan berarti kesimpulannya bahwa Pemilu serentak tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Dalam konteks permasalahan di atas memperlihatkan kelemahan institusi pemerintah dalam pelaksanaan Pemilu, maka diperlukan formulasi baru untuk menghindarkan Pemilu dari bias kepentingan elit, tidak hanya secara Nasional tetapi paling terpenting adalah upaya menemukan formulasi baru dalam menjaga kondisi demokrasi yang sehat ditingkat daerah.
Perbaikan demokrasi ke arah yang dicita-citakan masyarakat tentunya menjadi tugas institusi pemerintah, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif masyarakat secara luas. HPMI-GU merupakan bagian dari masyarakat demokrasi yang memikul tanggung jawab moral sebagai wujud dari masyarakat akademis dalam hal ini adalah Masyarakat akademis Gorontalo Utara.
Sebagai agen of control dan agen of change sebagaimana kalimat yang selalu di gaungkan maka tentu Himpunan Mahasiswa Indonesia Gorontalo Utara (HPMI-GU) konsisten berada pada posisi ini dan mengambil langkah-langkah positif (sekecil apapun) untuk mendukung pelaksanaan Pemilu, juga sebagai kontrol politik (Pemilu) demi perbaikan daerah ke depan.
Tentu banyak hal harus dilakukan untuk kontrol politik (Pemilu) sebagai perbaikan demokrasi daerah ke depan; pertama, seyogianya HPMI-GU akan selalu berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan politik termasuk berpartisipasi dalam Pemilu, sebab politik menurut penulis merupakan sarana yang paling memungkinkan untuk menyelenggarakan pemerintahan demokratis yang sesuai dengan regulasi.
Kedua, sebagai insan kritis, tentu HPMI-GU selalu aktif melakukan kontrol dan pengawasan terhadap setiap proses yang berlangsung, tentu kontrol ini tujuannya untuk membantu rakyat nanti pada konsolidasi demokrasi, sebab jalan panjang membentang menuju hari pencoblosan. Banyak hal mungkin saja terjadi. Keriuhan tawuran opini di ragam kanal yang diakses warga harus di antisipasi melalui nalar kritis, dan inokulasi komunikasi yang dimiliki masyarakat akademis. Artinya; inokulasi komunikasi semacam kekebalan mental, agar tidak terhanyut ke dalam pusaran tawuran opini yang merugikan peradaban.
Pemilu 2024 Banyak potensi yang sebaiknya mesti diwaspadai oleh institusi pemerintah dalam menjaga kondusifitas demokrasi (Pemilu) adalah provokasi dalam hal ini yang tidak ingin Pemilu berjalan aman dan kondusif. Yakni; penyebaran isu, hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda hitam untuk mendelegitimasi penyelenggara Pemilu, pemerintah maupun para kandidat yang berkontestasi, Tujuan-nya adalah menciptakan instabilitas. Oleh karenanya peran control ini selalu aktif terlibat dengan kemampuan kejernihan nalar untuk verifikasi sumber informasi yang dikonsumsi warga dan menguatkan nilai nilai semangat kekitaan.
Tentu untuk mewujudkan Pemilu yang memang benar-benar mengarah pada nilai nilai demokrasi, maka penting menyelaraskan dua aspek dalam demokrasi, yakni system hukum dan etos demokratik seperti nilai nilai luhur dimasyarakat yang tentu akan menguatkan konsolidasi demokrasi daerah saat ini dan di masa mendatang.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa kesadaran politik harus melekat di dalam diri masyarakat akademis dalam hal ini Mahasiswa, berdosalah kita yang merasa agen of control dan agen of change ketika membiarkan rakyat terhanyut oleh politik yang hanya menjadi tempat pengambilan suara nanti yang berujung pada politik uang.
Editor : Ghaffar Becelebo