Oleh :Dr M Tahir Alibe M.Th.I Dosen Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Manado dan Pengurus MUI Sulawesi Utara
*Paling tidak sebelum memasuki bulan Ramadhan, ada dua tragedi yang menimpa bangsa Indonesia selain Pandemi Covid-19 tentunya.
Pertama, Bom Bunuh diri di Gereja Katedral Makassar yang dilakukan oleh kaum Radikal. Menurut pengakuan keluarganya orang tersebut sangat rajin membaca al-Qur’an dan tentu saja sangat rajin pergi shalat berjamaah di Masjid. Selain itu Istrinya yang sedang hamil dibawa serta dalam aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar. Maka tiga nyawa melayang pada saat bersamaan.
Hanya beberapa hari setelah Bom di Gereja Katedral Makassar, seorang wanita menerobos masuk di Mabes Polri dan menembak polisi, tentu saja wanita tersebut antar nyawa.
Aksi teror di Gereja Katedral Makassar maupun di Mabes Polri dilakukan atas nama ideologi Agama. Agama tidak mengajarkan teror namun, motivasi tindakannya atas nama agama. Bercadar, berjenggot, cingkrang, berjidat adalah ajaran agama bagi mereka dan ciri-ciri itu dimiliki oleh mereka.
Kedua, Bencana Alam di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan di Jawa Timur tepatnya di Malang. Sebelumnya Gempa di Sulawesi Barat dan Banjir di Sulawesi Utara. Seperti biasa setiap bencana Alam terjadi maka ada yang jadi korban.
Dua peristiwa tersebut, bom bunuh diri dan bencana alam, keduanya melukai hati kita semua. Bom bunuh diri melukai Ideologi Islam yang damai, begitu juga dgn bencana alam. Bom bunuh diri atas keinginan sendiri, bencana alam karena dipaksakan oleh manusia.
Dari tahun ke tahun Bangsa Indonesia sulit lepas dari bencana alam. Seakan-akan Tuhan, menggilir setiap daerah untuk terkena bencana Menyebutnya sebagai bencana alam bisa jadi dipahami bahwa bencana tersebut murni terjadi tanpa keterlibatan manusia. Merujuk kepada ajaran agama bahwa bencana alam terjadi karena campur tangan manusia lihat Qs. Ar-Rum ayat 41.
Kebijakan yang keliru, menebang pohon sembarangan, keserakahan manusia untuk mengeruk kekayaan alam tanpa memperhatikan kebaikan, keselamatan umat manusia di sekitarnya, merekalah yang paling bertanggungjawab atas bencana alam tersebut.
Selain Al-Qur’an menegaskan siapa yang bertanggungjawab atas bencana alam, iapun menyebutkan tujuan dari bencana alam itu. Dengan terjadinya bencana alam manusia akan dengan segera menyadari kesalahannya serta dengan cepat memperbaikinya.
Manusia pada umumnya sulit menerima nasehat yang berupa ancaman, teori saja tanpa bukti nyata. Bukti nyata saja masih kadang ditolak apalagi kalau hanya teori.
Maka dengan bencana alam yang terjadi maka mereka menerima langsung nasehat dari Tuhan dan lebih mudah untuk diterima. Seorang anak yang dilarang makan sesuatu karena rasanya pedis akan sulit ia terima bila tidak merasakan langsung rasa pedis yang ada dalam makanan itu. Baru setelah ia coba dan merasakan pedisnya baru percaya. Seperti itulah manusia pada umumnya.
Jadi sebenarnya manusia pada umumnya tingkat kedewasaannya tidak beriringan dengan bertambahnya umur, postur tubuhnya. Badannya semakin besar, umurnya semakin bertambah, namun karakternya tidak mengalami perubahan apapun. Mereka masih saja dalam posisi seperti anak kecil yang belum “dewasa”.
Kehadiran puasa pada hakikatnya datang untuk memberi manusia nasehat secara langsung tentang rasa simpati bahkan empati. Simpati adalah memahami apa yang dialami oleh saudara-saudara kita, sementara empati adalah merasakan penderitaan apa yang dialami oleh saudara-saudara kita.
Hakikat Iman bila merujuk kepada Al-Qur’an maupun hadis adalah memiliki rasa empati yang tinggi terhadap sesama kaum mukmin dan sifat tegas terhadap kaum kafir lihat Qs. Al-Fath:29.
Puasa adalah menahan diri dari makanan yang halal di siang hari. Dengan puasa kita merasakan lapar dan haus. Dengan puasa pula kita merasakan bagaimana susahnya hidup bila tanpa ada makanan.
Jika dengan puasa belum mampu melahirkan simpati bahkan empati, jika dengan puasa belum bisa merasa kasihan melihat penderitaan sesama maka puasa kita sebenarnya tidaklah “sah”.
Puasa diwajibkan agar kita mendapatkan nasehat langsung, agar memberikan perhatian, dapat berbagi kepada sesama yang serba kekurangan.
Ketika Imam Ja’far Shadiq ditanya, buat apa Allah swt mewajibkan hamba-Nya melakukan puasa? Dijawab oleh beliau, “agar orang-orang kaya merasakan penderitaan orang-orang miskin”.
Di tengah bencana alam yang menimpa saudara-saudara kita, bukan sesuatu yang keliru bila sedekah dialihkan untuk membantu mereka, itu lebih jelas, dan tepat sasaran.