Oleh : Erijelly Bandaro (Opini)
Pada periode kedua kekuasaan Jokowi, ada kebiasaan menteri yang cepat sekali membuat pernyataan yang menimbulkan kebingungan. Nanti setelah ribut, sibuk klarifikasi. Padahal dalam era internet, klarifikasi itu tidak perlu lagi. Karena jejak digital tidak bisa terhapus. Semakin klarifikasi semakin orang tertawa. Saya ambil contoh sederhana saja. Dalam kasus rencana Tesla mau invest di Indonesia bangun industri baterai. Menko Maritim mengclaim bahwa sudah ada kotrak dengan investor. Padahal itu baru sebatas NDA atau masih sangat awal. Tahap saling menjajaki. Masih jau untuk masuk ke HoA dan Agreement.
Ketika ada berita Team Tesla gagal masuk ke Indonesia. Menteri Peridustrian beralasan bahwa mengikuti kebijakan dari Pemerintah Indonesia adanya larangan warga negara asing (WNA) masuk ke Indonesia. Eh kemudian Pertamina mengatakan bahwa Tesla tidak tertarik pada EV. Maunya ESS ( Energy Storage System). Itupun masih sebatas wacana. Anehnya Ketua BKPM bilang Tesla udah ajukan aplikasi izin PMA. Capek dech.
Faktanya keenggananan Tesla masuk karena pemerintah gagal menerapkan environmental, social, and governance (ESG). Maklum Tesla sudah masuk ke bursa utama. Standar kepatuhan bursa mengharuskan Tesla mengikuti ESG. LG dan CATL juga sama.
Seharusnya Menko Maritim, engga perlu sibuk urusan soal tekhnis. Dia focus aja kepada kebijakan makro agar keinginan investor bisa terpenuhi. Kebijakan makro itulah yang harus disampaikan. Tentu dasarnya adalah UU PMA. Kemudian menteri perindustrian, focus aja kepada kebijakan industri EV terintegrasi dengan dukungan insentif dari pemerintah. Tapi nyatanya hanya berfocus terhadap nikel sebagai bahan baku baterai untuk industri EV. Emangnya orang mau invest hanya karena nikel yang hanya 20% bahan baku EV.
Soal tekhnis itu urusan swasta atau BUMN yang akan deal dengan Tesla. Itupun kalau BUMN atau swasta ada uang. Anehnya meneg BUMN juga ikutan lebay dengan membentuk holding khusus Nikel, MIND ID. Engga tanggung tanggung yang terlibat PLN, Pertamina, Antam. Antam, sektor hulu atau penyedia bahan baku baterai sementara produk tengah (intermediate) hingga ke hilir akan dikelola oleh Pertamina dan PLN. Yang jadi masalah adalah 60% produksi nikel harus diolah jadi baterai melalui holding ini. Dan itu mereka kerjasama dengan pihak asing. Karena engga mampu sendiri. Kan jadi panjang rentenya. Siapa yang mau bisnis begini?.
Saya tidak tahu. Mengapa sampai terjadi komunikasi yang cenderung pencitraan. Padahal Jokowi maunya kerja real dan menghasilkan kinerja nyata, yang bisa dirasakan oleh rakyat.