Oleh : Erijely Jely Bandaro
Koordinat.co, Opini
Status sumber dana SWF
SWF itu ada beberapa jenis. Diantaranya adalah 1). dana stabilisasi, 2). Tabungan atau dana generasi masa depan, 3). Dana cadangan pensiun untuk kepentingan umum, 4). Cadangan dana investasi. 5). Pembangunan strategis. Namun kalau disingkat ada dua jenis saja. Yaiut SWF memanfaatkan tabungan pemerintah dari pendapatan ekspor. Kedua, dari sekuritisasi Asset. Kita engga mungkin menggunakan pendapatan ekspor karena kita minus terus. Cadangan devisa ? juga engga mungkin. Karena devisa itu bukan milik negara tetapi milik sistem di mana negara hanya sebagai pengendali.
Yang pertama yaitu bersumber dari tabungan pemerintah, itu tidak ada masalah. Karena sudah berupa uang. Kalau mau dileverage juga tidak sulit. Tinggal diawasi saja bagaimana jangan sampai terjadi korupsi. Siapapun bisa jalankan. Engga perlu ahli. Yang kedua adalah sumber SWF itu berasal dari asset. Asset ini harus disekuritisasi agar bisa menjadi intrument menarik dana dari pasar uang. Inipun tidak rumit. Karena tinggal ikuti prosedur penerbitan obligasi yang diatur oleh OJK. Namun kalau ini yang terjadi, sama saja menggadaikan aset negara. Jelas melanggar UU. Karena SWF adalah dana swasta yang diluar APBN. UU Perbendaharaan negara, apapun penjaminan negara harus masuk kuridor APBN. Harus persetujuan DPR. Harus diperiksa oleh BPK. Dan diawasi oleh KPK. Jelas nasipnya akan sama dengan Pusat Investasi Pemeritah (PIP) era SBY yang akhirnya matisuri. Modal amblas.
Jadi yang diamanahkan oleh UU Cipta Kerja pada Bab X, adalah Lembaga Pembiayaan investasi yang kedua yaitu sumber dana berasal dari sekuritisasi Aset lewat hutang. Namun dilakukan dengan cara structure funding yang rumit dan melibatkan langsung project yang terkait dengan pembangunan strategis. Prinsipnya adalah tidak menggadaikan aset negara secara lansung. Negara tidak terlibat menjamin resiko investasi. Namun LPI itu sangat berkuasa menentukan proyek strategis dan menerapkan skema pembiayaan untuk menarik hutang melalui SPC. Nah SPC inilah secara entity bertanggung jawab atas resiko. Mengapa ? Perhatikan UU Cipta Kerja Bab X.
Pertama, UU Cipta Kerja memberikan kewenangan yang begitu besar pada Lembaga Pengelola Investasi. Artinya kekuatan LPI itu adalah otoritas melegimasi proyek dan skema yang memastikan bisa menarik investasi yang resikonya ada pada proyek, bukan pada asset negara (off balance sheet)
Kedua, Pasal 165 Ayat (2) UU berbunyi “Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalisasi nilai aset secara jangka panjang, dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan.” Perhatikan kalimat pasal 165 ayat (2) itu tidak ada kalimat memanfaatkan (utilize ). Yang ada adalah meningkatkan ( credit enhancement ). Ini bukan leverage asset secara langsung tetapi secara tidak langsung yaitu melalui SPC. Itu sangat jelas dalam kalimat “ mengoptimalisasi nilai aset ( optimize asset value ).
Ketiga, keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga,” bunyi pasal 158 ayat 4. Pasal ini kalau dibaca literatur SWF dikenal dengan istilah separate transaction untuk securitisasi aset yang unsecure ( tanpa collateral). Makanya bunyi pasal 161 dalam Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan. Artinya BPK dan OJK tidak boleh periksa. Kalau BPK ikut periksa, tidak akan ada investor mau masuk. Karena mereka menjauh dari keterlibatan politik dalam skema investasi.
Sumber daya LPI
Tahukah anda bahwa total asset negara sekarang mencapai Rp. 10.467 triliun Itu berdasarkan Revaluasi aset yang dilakukan oleh kantor vertikal DJKN yakni 71 Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di seluruh Indonesia. Nah apa saja asset negara itu? aset lancar yang sebesar Rp 491,86 triliun. Investasi jangka panjang sebesar Rp 3.001,2 triliun. Aset tetap sebesar Rp 5.949,59 triliun. Aset lain lain Rp 967,98 triliun. Untuk diketahui, revaluasi aset adalah penilaian kembali aset yang dimiliki suatu entitas sehingga mencerminkan nilai aset sekarang. Sementara aset BUMN pada tahun 2018 mencapai Rp. 8.092 triliun. Kalau dibandingkan dengan utang pada posisi akhir Mei 2020 adalah sebesar Rp 5.258,57 triliun. Artinya hanya 1/3 saja utang dibandingkan asset. Dalam hitungan Financial rasio, utang terhadap aset dikisaran 30% itu sangat sehat.
Selama ini aset sebesar tersebut diatas kebanyakan tidur atau tidak dimanfaaatkan secara optimal. Padahal dalam dunia keuangan asset sebesar itu bisa disekuritisasi untuk mendapatkan financial resource. Dalam hitungan financial, kalau anda punya aset sebesar Rp 100, anda bisa me leverage asset itu lewat sekuritisasi sebesar katakanlah 10 kali. Tentu ketika disekuritisasi sudah ada underlying business yang memback-up sehingga hitungannya bisa mencapai 10 kali. Bagaimana caranya agar aset itu bisa disekuritisasi? ya harus melalui lembaga pengelolaan Investasi atau Sovereign Wealth Funds.
Sekuritisasi Aset
Sekarang kita masuk dalam pembahasan teknis dari SWF jenis Pembangunan strategis. Saat sekarang negara punya 100 lebih BUMN. Misal, kalau semua BUMN itu gabung dengan super holding, dan melakukan IPO, maka akan terbentuk nilai Marcap. Artinya walau saham BUMN itu dilepas hanya 10% saja, namun valuasi sahamnya sudah bisa ditarik ke 100%. Contoh total aset BUMN Rp 5.258,57 triliun. Kalau sudah IPO semua, nilai Marcap bisa sedikitnya rata rata katakanlah 5 kali. Itu artinya Rp. 25.000 triliun. Valuasi sebesar Rp. 25 ribu Triliun inilah yang disekuritisasi oleh Lembaga Pengelola Investasi ( LPI) atau SWF untuk tujuan pembangunan strategis. Belum lagi aset negara lainya yang bernilai diatas Rp. 10.000 triliun. Jadi raksasa sekali sumber daya keuangan negara kita.
Apa saja pembangunan strategis itu? Misal pemerintah melalui BUMN membangun pusat smelter. Sehingga penambang kecil bisa diserap produksinya untuk diolah tanpa perlu mereka membangun sendiri smelter. Atau BUMN membangun pusat pengolahan downstream CPO, sehingga UMKM dan Petani bisa langsung menjual produksinya ke pusat pengolahan. Antara UMKM dan Perusahaan besar bisa bersinergi dengan apik. Sehingga pemerintah bisa lead membangun supply chain nasional agar distribusi peluang berusaha terjadi secara luas. Bisa juga misal PELINDO mau bangun pelabuhan. Atau Jasa Marga mau bangun jalan Toll, LPI bisa investasi disana. Jadi engga perlu lagi PELINDO atau jasa Marga cari utangan ke luar. Atau LPI bisa berinvestasi di industri hulu sehingga bisa menjamin supply chain bagi industri hilir sehingga efisien bersaing di pasar global. Paham ya.
Kuncinya adalah membentuk Super Holding BUMN dan menguangkan ( sekuritisasi ) aset yang dimiliki negara secara langsung dan dimanfaatkan oleh LPI secara aman. Contoh negara punya lahan sekian juta hektar. Tanah ini tidak digadaikan, tetapi proyek diatasnya yang dijadikan jaminan. Dan ini berkaitan dengan future revenue aset bila diatas lahan ada kegiatan investasi. Future itulah yang harus disekuritisasi untuk dapatkan uang di pasar. Memang rumit. Makanya ketua LPI dan team harus orang yang punya jam terbang kelas dunia di bidang keuangan dan financial engineering. Kalau engga , akan dipecundangi dengan mudah oleh fund manager seperti kasus SWF Malaysia, 1MDB. Yang hanya seorang John Low ( Low Taek Jho) menggandeng Goldman Sachs dan JP Morga akhirnya menggiring Malaysia nyaris bankrut akibat skandal hutang mengalir ke elite. Itu hanya karena tidak bisa membedakan underlying dengan underwriting. Tidak bisa bedakan credit dengan credit enhancement. Atau seperti Abudhabi SWF yang dipecundangi oleh Masayoshi Son yang gandeng IDFC.
Kemudian, apakah ada investor yang berminat berinvestasi terhadap asset yang disekuritasi oleh LPI itu? tentu banyak yang berminat. Mengapa ? karena investasi LPI itu berkaitan langsung dengan pembangunan strategis dan pasti aman dari sisi pasar dan politik. Lah punya negara. Siapa yang mau ganggu? Di samping itu investasi LPI itu merupakan aset yang terpisah dari negara. Mengapa ? yang disekuritisasi adalah sumber daya proyek, sementara aset yang ada pada LPI hanya sebagai underlying. Ya sama seperti penerbitan surat utang unsecure bond ( tanpa collateral). Jadi secara hukum, investasi LPI itu murni B2B. Jadi bisa dibuat skema yang win to win atau flexible dengan investor. Setiap skema sekuritisasi selalu ada exit strategy yang mengamankan investor. Misal lewat IPO atau penerbitan global bond. Jadi semacam aset beranak aset. Terus aja begitu tanpa henti. Dari proses dan skema bisnis seperti inilah LPI dapat laba.
Persepsi Pemerintah
Setelah UU Cipta kerja disahkan, sayang sekali persepsi pemerintah berbeda dengan UU Cipta kerja itu sendiri, khusus Bab X. SMI berencana menaikan modal LPI sampai Rp 75 triiun dari Rp. 15 T minimal yang diamahkan oleh UU. Jadi skemanya similiar dengan PPI era SBY. Bedanya hanya dari segi modal disetor engga sebesar PPI. Ini pasti ujungnya akan sama dengan PPI. Matisuri. Tidak terdengar program restruktur aset negara yang memungkin bisa menjadi sumber daya negara yang aman guna menarik uang dari pasar uang. Tidak ada program membentuk Super Holding BUMN. Tidak ada program menguangkan ( sekuritisasi ) aset yang dimiliki negara , yang bisa secara langsung dan dimanfaatkan oleh LPI tanpa bertentangan dengan UU Perbendaharaan negara. Yang jelas belum ada framework yang sesuai dengan SWF Development strategis, yang diamanahkan oleh UU Cipta kerja,, Yang terdengar sekarang adalah semua sibuk lobi mau jadi ketua LPI. Capek dech.
Kalau sampai keluar PP yang tidak sesuai dengan prinsip dari UU Cipta Kerja Bab X, saya akan teriak. Benar benar teriak. Terserah anda mau bilang apa. Jokowi harus tahu ini. Ini bahaya, akan terulang kembali kasus SWF Malaysia yang menciptakan skandal 1MDB lewat SCR International. Uang mengalir ke elite bukan ke proyek. Karena skandal itu, malaysia nyaris bangkrut karena rasio utang terhadap PDB mencapai 70% lebih.(R01)
Sumber : Group FB Erijelly Jely Bandaro, Dskusi dengan Babo.