Oleh : Muhsin Labib
*Di tengah konflik Israel-Palestina, sikap sebagian kalangan Muslim Sunni terhadap Iran mengungkap paradoks memilukan: mereka memuji serangan rudal Tehran ke wilayah pendudukan Israel, sambil memelihara kebencian pada identitas Syiah-nya. Dukungan ini lahir dari logika transaksional semata—”musuh-musuhku adalah sekutuku”—bukan pengakuan atas prinsip bersama. Sebuah kalkulasi sektarian yang mengorbankan integritas moral demi keuntungan taktis sesaat.
Kontradiksi ini merusak kohesi kolektif. Bagaimana mungkin seseorang mengagresi efektivitas militer Iran, tetapi menolak legitimasi komunitas pelaksananya? Aliansi semu seperti ini ibarat menyewa senjata dari kelompok yang dianggap inferior, sambil menyimpan pisau dendam di balik punggung. Tidak hanya tidak jujur, tetapi juga kontraproduktif: ia memperdalam fragmentasi yang justru dimanfaatkan oleh kekuatan pendudukan.
Fakta bahwa Iran bertindak mandiri—tanpa mengemis dukungan senjata, dana, atau validasi—seharusnya menjadi katalis refleksi. Ketika satu kelompok secara konsisten melawan penjajahan sementara lainnya sibuk mengutuk identitasnya, pertanyaan kritis muncul: Siapa sesungguhnya yang berkontribusi pada keadilan, dan siapa yang terjebak dalam permainan sektarian?
Di titik inilah ironi dukungan separuh hati itu mencapai puncak absurditasnya. Sikap ini bukan sekadar pengkhianatan terhadap Iran—ia adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri. Selama kebencian pada Syiah dipelihara, selama itu pula umat Islam akan tetap menjadi bulan-bulanan penjajah.
Iran dan komunitas Syiah tidak menanti validasi dari pihak yang memandang mereka dengan prasangka. Mereka bergerak karena prinsip, bukan demi pujian. Dan dalam gerakan itulah tersimpan pelajaran universal:
“Siapa berbuat kebajikan, sesungguhnya ia berbuat untuk dirinya sendiri.”(QS. Al-Jatsiyah: 15)
Mendukung kebenaran bukanlah hadiah untuk pihak lain—ia adalah keselamatan untuk nurani sendiri. Setiap rudal yang melesat ke Tel Aviv, setiap perlawanan terhadap penjajahan, menggemakan prinsip abadi:
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik untuk diri kalian sendiri.” (QS. Al-Isra: 7)
Maka yang tersisa bukan debat sektarian, tapi pilihan eksistensial: menjadi bagian dari keadilan—atau terkubur dalam kubangan prasangka yang menghianati diri sendiri.
“Siapa berbuat kebajikan, sesungguhnya ia berbuat untuk dirinya sendiri”. (QS. Al-Jatsiyah: 15).