(Opini) Oleh : Muhsin Labib
*Banyak orang mengira bahwa kata “natal” secara inheren merupakan istilah keagamaan—seolah mengucapkannya akan langsung mengaktifkan ritual tertentu. Anggapan ini lebih bertumpu pada kebiasaan populer daripada dasar etimologis, meskipun tentu jauh lebih dramatis untuk diperdebatkan.
Secara bahasa, “natal” diserap dari bahasa Latin natalis, yang berasal dari kata kerja nasci yang berarti “lahir”. Dalam bahasa Latin klasik, frasa dies natalis digunakan untuk menyebut hari kelahiran dalam arti luas: kelahiran seseorang, pendirian sebuah kota, atau peringatan awal suatu peristiwa penting. Dengan kata lain, bangsa Romawi kuno menggunakan istilah ini tanpa perlu membuka perdebatan teologis setiap kali seseorang berulang tahun.
Akar makna “kelahiran” ini masih terpelihara dalam berbagai istilah ilmiah dan non-agama, seperti prenatal (sebelum kelahiran), postnatal (setelah kelahiran), dan neonatal (masa awal kelahiran bayi). Penggunaan tersebut menunjukkan bahwa kata “natal” pada hakikatnya bersifat netral—dokter kandungan di seluruh dunia menggunakannya tanpa perlu klarifikasi keyakinan terlebih dahulu.
Dalam perkembangan sosio-budaya, kata “natal” kemudian populer dikaitkan dengan peringatan Kelahiran Yesus dalam tradisi Kristen. Asosiasi ini bersifat konvensional dan kontekstual, bukan hakiki dari kata itu sendiri. Dengan demikian, yang berubah adalah ranah penggunaannya, bukan makna dasarnya. Penting untuk membedakan antara makna leksikal suatu kata dan makna yang dilekatkan melalui praktik sosial—kalau tidak, kita akan kesulitan menggunakan kata “minggu” (dari Portugis domingo, hari Tuhan), atau “saptu” (dari Sabbath Yahudi), dan kalender kita akan menjadi sangat membingungkan.
Di sisi lain, perlu diingat bahwa “natal” merupakan kata serapan dalam bahasa Indonesia, bukan istilah universal yang digunakan oleh semua budaya. Banyak bahasa memiliki kata tersendiri untuk merujuk peristiwa kelahiran, termasuk bahasa Persia yang tidak menggunakan kata “natal”. Hal ini mempertegas bahwa kata tersebut tidak secara otomatis membawa makna religius dalam semua konteks linguistik.
Kesimpulan:
1. Secara etimologis, “natal” berasal dari bahasa Latin yang bermakna “kelahiran” dan bersifat umum. Dies natalis berarti hari kelahiran—titik.
1. Pengaitan kata “natal” dengan Hari Kelahiran Yesus bersifat historis-kultural, bukan hakiki.
1. “Natal” adalah kata serapan dari Portugis dalam bahasa Indonesia dan tidak digunakan secara universal, termasuk dalam bahasa Persia.
Dengan pemahaman ini, menggunakan kata “natal” tidak serta-merta mencerminkan afirmasi keyakinan agama tertentu. Perlu prosedur yang jauh lebih panjang dari sekadar mengucapkan sebuah kata Latin untuk memeluk sebuah agama yang rapi.
Anda tak akan jadi kafir hanya karena mengucapkan Selamat Natal, dan tak jadi Mukmin hanya karena tak mengucapkannya.


















