Example floating
Example floating
Example 728x250
NasionalOpini

NASIB “INDUSTRI AGAMA” DI ERA DISRUPSI DIGITAL (Bagian 1)

58
×

NASIB “INDUSTRI AGAMA” DI ERA DISRUPSI DIGITAL (Bagian 1)

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

(Opini) – Oleh Muhsin Labib

*Era Manual: Surga Otoritas Tanpa Verifikasi

Example 300x600

Sebelum era digital, dunia berjalan dalam ritme yang dapat diprediksi dan dikontrol. Informasi mengalir melalui saluran-saluran resmi yang mudah diatur. Seorang dokter menjadi satu-satunya rujukan kesehatan di desanya, seorang akuntan menguasai rahasia pembukuan dengan kalkulator manualnya, dan seorang insinyur dihormati karena kemampuannya membaca tabel dan grafik tebal yang tak semua orang pahami.

Tetapi era manual ini juga menjadi surga bagi jenis otoritas lain yang jauh lebih rentan: otoritas tanpa basis verifikasi. Seorang bisa mengklaim dirinya “ulama besar” tanpa pernah menulis satu karya ilmiah pun. Seseorang dinobatkan “ahli tafsir” hanya karena suara lantang dan kemampuan menghafal, bukan karena penguasaan metodologi penafsiran yang ketat. Gelar-gelar kehormatan beredar tanpa standar jelas—“syekh,” “mufti,” “mursyid”—diberikan melalui mekanisme internal yang tertutup dari pengawasan publik.

Dalam ekosistem tertutup ini, yang berkuasa adalah mereka yang menguasai akses informasi. Dan tak ada informasi yang lebih mudah dimonopoli daripada yang dibungkus dengan aura sakral dan diklaim berasal dari sumber transenden. Sertifikat bisa dipalsukan, silsilah bisa direkayasa, mukjizat bisa diceritakan tanpa saksi yang dapat diverifikasi. Kutipan hadis bisa dimanipulasi karena jamaah tak punya cara mengecek kitab rujukan yang bahkan tidak mereka bisa baca.

Lebih penting lagi, era manual adalah masa keemasan doktrin kepatuhan tanpa kriteria. Santri diajarkan untuk “tidak banyak tanya,” jamaah diperintahkan untuk “nurut saja,” pengikut diindoktrinasi dengan “ini soal iman, bukan logika.” Sistem pendidikan agama dibangun di atas prinsip submission total—guru tidak boleh digugat, pemimpin spiritual tidak boleh dipertanyakan, agamawan tidak boleh dikritisi. Batasan antara kepatuhan pada Tuhan dan kepatuhan pada figur manusia sengaja dikaburkan, sehingga kritik terhadap otoritas keagamaan dianggap sama dengan kritik terhadap agama itu sendiri.

Era analog adalah era di mana narasi bisa dikendalikan sepenuhnya, dan “kebenaran” bisa dinegosiasikan oleh mereka yang duduk di atas mimbar.

Tsunami Digital Menyapu Profesi Berbasis Sains

Lalu datanglah revolusi digital dengan kecepatan yang menghancurkan. Yang pertama kali tampak terancam adalah profesi-profesi paling “ilmiah”—mereka yang dibangun di atas fondasi pengetahuan konvensional berbasis kalkulasi dan prosedur terstandar.

Dokter kini bersaing dengan aplikasi diagnosis AI yang mampu menganalisis gejala dengan akurasi mengejutkan. Akuntan tersaingi software yang menyelesaikan pekerjaan berbulan-bulan dalam hitungan menit dengan tingkat presisi lebih tinggi. Insinyur melihat perhitungan manual mereka digantikan program simulasi canggih yang mampu mengoptimalkan desain dalam ribuan iterasi. Penerjemah tergusur oleh neural network yang menguasai puluhan bahasa. Bahkan pengacara mulai khawatir dengan algoritma yang bisa menganalisis ribuan kasus hukum dalam sekejap.

Profesi-profesi berbasis ilmu pengetahuan keras—kedokteran, teknik, akuntansi—yang ironisnya paling “saintifik” dan “terukur”, justru yang paling cepat terdisrupsi. Mengapa? Karena kecerdasan buatan unggul dalam pekerjaan prosedural, berbasis data, dan memiliki parameter jelas. Semakin terstruktur sebuah pengetahuan, semakin mudah ia dikodifikasi menjadi algoritma.

Tetapi inilah yang luput dari pengamatan banyak orang: profesi-profesi ini terancam justru karena mereka berbasis pada pengetahuan yang solid, terverifikasi, dan dapat dikodifikasi. Ancaman mereka adalah bukti kekuatan mereka—kompetensi mereka begitu nyata dan terukur sehingga mesin bisa mempelajarinya.

Ancaman Sesungguhnya: Transparansi Tanpa Ampun pada “Industri Agama”

Di sisi lain spektrum, “industri agama”—khususnya yang dibangun di atas doktrin irrasional dan klaim imajinatif—menghadapi ancaman eksistensial yang jauh lebih mendasar. Tidak seperti profesi berbasis sains yang terancam karena terlalu solid, “industri agama” model lama terancam justru karena tidak memiliki fondasi sama sekali.

Perlu memperhatikan perbedaan pengetahuan keagamaan yang sejati—studi teks klasik dengan metodologi ketat, pemahaman sejarah dengan riset mendalam, filsafat agama dengan argumentasi logis. Ini adalah domain akademik yang legitimate. Tetapi yang kita bicarakan di sini adalah fenomena berbeda: “industri agama” yang dibangun di atas klaim-klaim tanpa basis rasional, otoritas yang dikonstruksi melalui manipulasi emosional, dan doktrin yang menolak pengujian kritis.

Dan inilah ancaman eksistensial mereka: digitalisasi adalah kiamat bagi segala yang tidak dapat diverifikasi.

Bersambung…

 

About Muhsin Labib

Dr. Muhsin Labib

Muhsin Labib adalah seorang pendidik, penulis, dan intelektual publik yang karyanya berfokus pada filsafat Islam, toleransi beragama, dan advokasi Islam. Saat ini menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia menghadirkan kedalaman akademis dan kejelasan moral pada beberapa isu paling mendesak dalam pemikiran Islam kontemporer.

Melalui ceramah, tulisan, dan diskusi publiknya, Muhsin Labib mengeksplorasi persimpangan antara teologi, filsafat, dan keadilan sosial. Ia dikenal luas atas komitmennya untuk mendorong dialog antaragama dan intra-agama, menantang bias sektarian, dan mempromosikan koeksistensi damai lintas batas agama dan ideologi.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *