Example floating
Example floating
Example 728x250
BudayaOpini

Agama Yang Terus Diperdebatkan Dari Keutuhan Ajaran ke Kebisingan Tafsir

28
×

Agama Yang Terus Diperdebatkan Dari Keutuhan Ajaran ke Kebisingan Tafsir

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

(Opini) Oleh : Muhsin Labib

*Dalam kehidupan sehari-hari, agama hampir selalu hadir melalui percakapan, perbedaan pendapat, dan klaim yang saling bersinggungan. Ia dibicarakan di ruang publik, diperdebatkan di media, dipertahankan dalam komunitas, dan diwariskan melalui bahasa yang terus diulang.

Example 300x600

Kehadirannya justru paling terasa ketika ia dipersoalkan, bukan ketika ia dijalani secara seragam. Dari situ perlahan tampak bahwa agama lebih mudah dikenali melalui tafsir-tafsirnya daripada melalui satu ajaran yang utuh.

 

Dalam praktik sosial, agama tidak pernah kita jumpai sebagai sesuatu yang hadir secara langsung dan menyeluruh. Yang kita temui adalah masyarakat yang mengatasnamakan agama. Namun masyarakat itu sendiri tidak pernah hadir sebagai kesatuan ontologis yang stabil. Ia selalu dihadirkan melalui representasi: kelompok, tokoh, institusi, dan tradisi yang merujuk pada masa lalu. Masyarakat itu hidup dalam klaim tentang dirinya, bukan dalam kehadiran yang bisa ditunjuk secara utuh.

 

Proses representasi ini tidak pernah berhenti pada satu lapis. Kelompok-kelompok yang mengklaim mewakili masyarakat tertentu kembali terpecah menjadi subkelompok. Subkelompok itu melahirkan posisi-posisi yang lebih kecil, hingga akhirnya berhenti pada individu-individu yang masing-masing merasa membawa representasi paling sah. Setiap lapisan mengaku lebih dekat dengan sumber, lebih otentik, lebih benar. Namun semakin panjang rantai representasi itu, semakin jauh pula agama dari klaim keutuhannya.

 

Dalam kondisi seperti ini, nalar tidak menghilang. Ia justru bekerja sangat aktif, tetapi secara selektif. Ia tajam ketika diarahkan ke luar: membongkar keyakinan orang lain, menertawakan yang dianggap tidak masuk akal, dan memberi label pada pandangan yang berbeda. Namun ketajaman itu melembek ketika berhadapan dengan klaim internal. Informasi yang rapuh secara rasional tetap diterima selama ia menopang rasa keanggotaan. Rasionalitas tidak berfungsi sebagai penimbang, melainkan sebagai pembela.

 

Karena itu, banyak perdebatan yang tampak kritis dan intelektual sesungguhnya bukan upaya mencari kebenaran. Ia adalah mekanisme mempertahankan identitas. Argumen dirakit untuk menutup celah, bukan untuk membuka fondasi.

Ketika seseorang yang cerdas menyadari bahwa pandangan kelompoknya bermasalah secara nalar, pengakuan jarang menjadi pilihan. Yang terjadi justru periasan intelektual: gagasan dipoles, dibedaki, diberi justifikasi baru agar tampak rasional, lalu diklaim sebagai bagian dari tradisi sendiri.

 

Padahal, jika ditelusuri secara historis, banyak gagasan yang dibela mati-matian itu tidak pernah hadir dalam literatur awal kelompok yang bersangkutan. Ia lahir belakangan, dipinjam dari luar, lalu diproyeksikan ke masa lalu seolah-olah telah menjadi bagian asli dari ajaran. Mengakui bahwa pandangan yang lebih koheren berasal dari kelompok lain terasa terlalu mahal secara identitas. Lebih aman mengklaimnya sebagai milik sendiri, meskipun arsip dan naskah tidak pernah memberinya legitimasi.

 

Fenomena ini tampak jelas dalam pembentukan mazhab dan aliran. Pandangan seorang tokoh yang secara faktual terbatas,perlahan diperluas oleh generasi setelahnya hingga menjelma sistem yang terasa lengkap dan menyeluruh. Nama tokoh itu kemudian berfungsi sebagai payung legitimasi. Namun sistem yang sudah dibangun itu kembali terurai menjadi sub-sub kelompok yang masing-masing mengklaim sebagai representasi paling sah. Representasi melahirkan representasi berikutnya, tanpa pernah mencapai titik akhir.

 

Jika ditarik lebih jauh, persoalan ini tidak lagi berhenti pada masyarakat atau kelompok, melainkan menyentuh agama itu sendiri. Sebab ketika dicari secara ontologis, agama tidak pernah ditemukan. Yang tersedia selalu informasi tentang agama, tafsir atas ajaran, dan perdebatan mengenai makna. Ajaran yang diklaim sebagai wahyu—yang diasumsikan satu, utuh, dan koheren—tidak pernah hadir dalam bentuk itu di dalam kehidupan sosial. Ia selalu dimediasi, selalu direduksi, selalu dihadirkan melalui suara orang lain.

 

Mengikuti pembawa ajaran pun secara praktis tidak pernah mungkin tanpa perantara. Yang diikuti selalu orang-orang yang mengklaim mewakili sumber itu, kelompok-kelompok yang menyusun ajaran tentangnya, dan tradisi yang telah dibentuk jauh setelah masa awalnya. Yang ada bukan keutuhan ajaran, melainkan ajaran tentang ajaran. Jarak ini tidak dapat dihapuskan, betapapun kuat klaim keyakinan diajukan.

 

Akibatnya, agama tidak pernah hadir dalam satu jalan yang tunggal. Karena tidak hadir dalam satu jalan, ia tidak mampu membentuk satu sistem kolektif yang terkonsolidasi. Yang berkembang justru pasar tafsir, mula-mula pada tingkat kelompok, lalu hingga individu. Agama menjadi sangat hidup dalam perdebatan, tetapi semakin sulit ditemukan dalam praktik kolektif yang seragam. Yang ramai adalah wacananya, bukan lakunya.

Ketika kondisi ini tak lagi dapat disangkal, lahirlah pembenaran baru. Fragmentasi dinarasikan

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *