KOORDINAT.CO GORONTALO – Dugaan proyek bermasalah pada Balai Wilayah Sungai Sulawesi II Gorontalo dinilai perlu di seriusi pihak Kejaksaan Tinggi Gorontalo, pasalnya diduga kuat proyek puluhan miliar, pengendalian banjir sungai popayato yang selesai dikerjakan tahun anggaran 2019 saat ini sudah “ludes” tak berbekas, hal ini dinilai sangat merugikan negara, dalam umur teknis pekerjaan memasuki tahun kedua, sudah hilang belas proyeknya.
“Ada yang ironis, ketikan proyek pengendalian banjir, “ludes” diterjang banjir, seharusnya adanya proyek tersebut menjadi pengendali banjir pada sungai popayato dan bukan hilang bersama banjir” jelas salah satu Aktivis pemerhati Korupsi Provinsi Gorontalo, Hengki Maliki yang ditemui Media ini, (27/07/2021) di sela-sela kegiatannya di wilayah Kota Gorontalo.
Hengki mengatakan, proyek yang berumur baru 2 tahun dikerjakan dan saat ini sudah lenyap tak berbekas dinilai sangat merugikan keuangan negara, selain itu Gorontalo juga sangat dirugikan akibat proyek yang dilaksanakan tapi tidak dapat dinikmati masyarakat, ada indikasi pelaksanaan proyek yang tidak sesuai, sehingga kami meminta APH dalam hal ini Kejaksaan Tinggi Gorontalo atau Polda Gorontalo agar segera mengusut tuntas proyek pengendalian banjir sungai popayato, yang terindikasi sangat merugikan negara, jelas hengki.
Dia juga menambahkan, jika dalam waktu dekat, pihaknya akan melaporkan dugaan proyek bermasalah tersebut, disertai sejumlah bukti temuan lapangan, bahkan akan mendesak pihak APH agar sesegera mungkin turun lapangan dan memanggil pihak-pihak terkait, termasuk kepala Balai Wilayah sungai. Pada prinsipnya, seorang penyelenggara negara harus menjalankan tugasnya sesuai dengan Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik (“AUPB”) yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme Pasal 1 ayat 6 UU 28 Tahun 1999. Ketika seorang penyelenggara Negara dalam hal ini pimpinan instansi pemerintah membiarkan terjadinya korupsi di instansi yang dipimpinnya, maka dia telah mengesampingkan penyelenggaraan Negara yang bersih yaitu penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya Pasal 1 ayat 2 UU 28 Tahun1999. ujarnya
Lebih jauh, Hengki menambahkan bahwa penyelenggara Negara tersebut dapat dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan dengan membiarkan dilakukannya korupsi pada instansi yang dipimpinnya dan dapat dijerat dengan Pasal 3 jo Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 23 UU Tipikor tersebut merujuk pula pada Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)yang berbunyi:
“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.” tegas Hengki mengakhiri.
Sementara itu, pihak Balai Wilayah Sungai Sulawesi II ketika akan dikonfirmasi melalui PPKnya hingga berita ini di tayangkan belum dapat ditemui. (K01)