Oleh : Muhsin Labib
*Orang-orang seagama bahkan semazhab, seberapa pun jumlahnya, tanpa otoritas keagamaan tunggal, konsensual, dan sentral hanyalah individu-individu yang kebetulan memiliki nama yang sama untuk keyakinan mereka, bukan sebuah umat. Keberadaan suatu umat yang berdasarkan pada doktrin keimanan sangat bergantung pada keberadaan otoritas keagamaan yang tunggal dan konsensual.
Keyakinan terhadap otoritas merupakan bagian integral dari keimanan, menjadikan otoritas ini sebagai pilar yang memungkinkan umat, meskipun tersebar di berbagai bangsa dan budaya, untuk tetap terjalin sebagai satu entitas yang harmonis. Umat Katolik adalah contoh nyata keberhasilan dalam membentuk kesatuan di tengah keragaman geografis, etnis, dan budaya, berkat otoritas sentral Gereja Katolik.
Penting untuk ditekankan bahwa otoritas keagamaan ini tidak bertujuan untuk mendelegitimasi otoritas kenegaraan atau menghilangkan identitas kebangsaan. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai kekuatan pelengkap yang memperkaya kohesi sosial tanpa mengorbankan kedaulatan negara atau karakter nasional.
Otoritas keagamaan, seperti yang diwujudkan dalam kepemimpinan Paus dan hierarki Gereja Katolik, berperan sebagai pusat spiritual yang memberikan arah moral dan doktrinal bagi umat. Melalui ajaran yang terstandardisasi, ritus sakral, dan nilai-nilai bersama, Gereja menciptakan identitas kolektif yang melintasi batas-batas geografis dan budaya.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari kemampuan otoritas Gereja untuk menyeimbangkan universalitas iman dengan penghormatan terhadap kekhasan lokal. Contohnya, liturgi yang disesuaikan dengan budaya setempat memungkinkan umat Katolik di berbagai negara untuk tetap merasa terhubung dengan identitas nasional mereka sambil memeluk iman universal.
Dengan demikian, otoritas keagamaan tidak menghapus identitas kebangsaan, melainkan memperkaya ekspresi iman dalam kerangka budaya lokal. Lebih jauh, otoritas keagamaan yang konsensual tidak bertentangan dengan otoritas kenegaraan; justru, dalam banyak kasus, ia berfungsi sebagai mitra yang saling melengkapi. Gereja Katolik, misalnya, secara historis telah menjalin hubungan konstruktif dengan berbagai pemerintahan, mendorong nilai-nilai seperti keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan sosial yang sejalan dengan tujuan negara.
Dalam konteks modern, ensiklik-ensiklik kepausan sering kali mengadvokasi isu-isu global—seperti perlindungan lingkungan atau hak asasi manusia—yang mendukung upaya negara dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil. Otoritas keagamaan tidak mengklaim supremasi atas otoritas kenegaraan, melainkan menawarkan panduan moral yang dapat memperkuat legitimasi negara dalam memenuhi tanggung jawabnya kepada rakyat.
Namun, tantangan dalam menjaga harmoni antara otoritas keagamaan dan kenegaraan tetap ada. Perbedaan pandangan teologis atau prioritas sosial dapat memicu ketegangan, terutama di negara-negara dengan keragaman agama atau sistem politik yang sekuler. Untuk mengatasinya, otoritas keagamaan harus memupuk dialog yang inklusif dan sensitif terhadap konteks lokal, memastikan bahwa panduan spiritualnya tidak dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara atau identitas nasional. Dalam hal ini, pendekatan Gereja Katolik yang menekankan subsidiaritas—memberikan ruang bagi otonomi lokal—menjadi model penting dalam menjaga keseimbangan ini.
Pada hakikatnya, keberhasilan umat Katolik sebagai satu umat yang terpadu menunjukkan bahwa otoritas keagamaan yang tunggal dan konsensual dapat menjadi fondasi persatuan tanpa harus mengorbankan identitas kebangsaan atau mendelegitimasi otoritas kenegaraan. Sebaliknya, otoritas ini memperkuat ikatan umat melalui nilai-nilai universal sambil menghormati keragaman budaya dan kedaulatan politik. Dalam dunia yang kian terfragmentasi, model ini menawarkan pelajaran berharga tentang bagaimana keimanan yang terorganisir dapat hidup berdampingan dengan identitas nasional, menciptakan harmoni yang tidak hanya memperkuat umat, tetapi juga memperkaya tatanan sosial global.
Dalam khazanah Islam terdapat pernyataan super bijak Ali bin Abi Talib, “Kebenaran yang tak terorganisasi pasti dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi”. Organisasi adalah produk otoritas atau manajemen, bahkan dapat dikatakan bahwa organisasi adalah otoritas dan manajemen itu sendiri. Sayangnya, ia hanyalah jargon. Agama sebenar apapun di mata pemeluknya dan mazhab semurni apapun di mata penganutnya tanpa otoritas tunggal dan konsensual, hanya menciptakan bising interpretasi teks dan riuh lomba klaim.