Oleh : Mubsin Labib
*Dalam lintasan sejarah yang panjang dan berliku, terdapat sebuah ironi yang mengakar dalam: mereka yang keyakinannya telah dibentuk oleh dinasti-dinasti korup dan bejat sepanjang masa tidak akan pernah terdorong untuk mendukung kelompok yang justru berdiri sebagai penyeimbang kekuasaan tersebut.
Fenomena ini bukanlah kebetulan belaka, melainkan hasil dari sebuah konstruksi psikologis yang sistematis. Ketika sebuah dinasti berkuasa dengan menebar narasi ekspansi dan perluasan wilayah atas nama agama—yang diilusttasikan sebagai masa kejayaan Islam—maka rakyat yang hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan tersebut akan secara tidak sadar menyerap nilai-nilai yang telah terdistorsi. Mereka tidak melihat bahwa di balik semangat “perluasan wilayah Islam” tersebut, sesungguhnya tersembunyi hasrat akan dominasi, aneksasi, dan ekspansi teritorial yang murni bersifat politis.
Tragisnya, masyarakat yang telah terpapar dengan narasi ini selama berabad-abad akan mengembangkan semacam “kebutaan sejarah” yang akut. Mereka tidak mampu membedakan antara perjuangan yang benar-benar mengusung nilai-nilai luhur Islam dengan ambisi politik yang mengatasnamakan agama. Bahkan ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok yang secara konsisten menentang praktik-praktik korup tersebut, mereka justru memandangnya dengan curiga dan permusuhan.
Inilah paradoks yang paling menyakitkan: semakin keras sebuah kelompok memperjuangkan kemurnian nilai-nilai agama dan menentang korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan, semakin besar resistensi yang mereka hadapi dari masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat dari perjuangan tersebut. Masyarakat yang telah terkondisi oleh sistem dinasti yang korup akan menganggap setiap kritik terhadap penguasa sebagai ancaman terhadap stabilitas, setiap panggilan untuk reformasi sebagai chaos, dan setiap upaya untuk mengembalikan nilai-nilai sejati sebagai ekstremisme.
Kondisi ini menciptakan sebuah siklus yang sulit diputus: dinasti-dinasti korup terus melanggengkan kekuasaan mereka karena mendapat dukungan dari masyarakat yang telah mereka kondisikan, sementara kelompok-kelompok yang benar-benar memperjuangkan keadilan dan kemurnian nilai-nilai agama terus terpinggirkan dan dicitrakan dan difatwakan sebagai sesat, kafir, bukan Islam, buatan Yahudi dan seribu satu atribut yang cukup menjadi alasan sah untuk menindasa dan segala tindakan tak manusiawi. Karbala adalah contoh paling tragis yang cukup menjadi peringatan dan warning.
Pemahaman terhadap fenomena ini menjadi kunci untuk memahami mengapa perubahan sosial yang fundamental begitu sulit terjadi, dan mengapa dinasti-dinasti yang korup dapat bertahan begitu lama dalam sejarah. Mereka tidak hanya menguasai kekuasaan politik dan ekonomi, tetapi juga—dan ini yang paling berbahaya—menguasai narasi dan membentuk kesadaran kolektif masyarakat.
Hanya dengan kesadaran yang mendalam terhadap manipulasi sejarah ini, masyarakat dapat mulai membebaskan diri dari belenggu mental yang telah mengakar selama berabad-abad, dan mulai membedakan kepentingan sejati agama dan bangsa dengan ambisi politik yang menyamar di balik jubah kesucian.