Oleh : Nizam Halla
Puasa sebagaimana tuntunan agama abrahamik, adalah proses ikhtiar perbaikan Iman berskala besar. Tujuannya untuk mencapai entitas taqwa. Dengan kata lain Puasa Ramadhan merupakan momen ibadah yang identik dengan aspek Keimanan dan eskatologi.
Bagi muslim, Puasa menjadi salah satu instrumen Ibadah paling fundamen untuk meneguhkan spiritualitas kehambaan. dalam prosa sufistik misalnya, puasa dimaknai sebagai “tiryāq” atau penawar racun, semacam “detoksifikasi spiritual“. Dengan berpuasa, kita diharapkan dapat melumpuhkan “racun” Rohaniah dalam tubuh kita.
Menahan lapar dalam puasa tak hanya urusan fisik semata namun padanya terdapat efek psikis dimana kita dituntut untuk mengingat dan menanggung derita saudaranya yang miskin, papa dan teraniaya, mendisiplinkan tubuh dari nalar konsumisme yang menjalar dalam kesadaran agar tidak terus mengkonsumsi banyak hal yang bisa merusak fitrah manusia.
Puasa adalah jalan para muttaqin untuk taat dan totalitas kepada Allah. Melalui puasa tubuh dan jiwa dijaga dari hal yang dapat mendegradasi kualitas ruhani. Puasa juga mampu menjadi penawar dari keserakahan yang tak tertanggungkan.
Namun gejala yang terjadi akhir-akhir ini seolah mengkonfirmasi betapa bulan penuh kemuliaan ini telah mengalami anomali. Puasa yg seharusnya menjadi momentum sakralitas dan reflektif, kini menjadi arena komoditas yg serba materialistik. Gagasan konseptual Puasa yang sakral perlahan tergerus identitas profan.
Konstruksi kapitalisasi ini pada kenyataannya telah menggerus hakikat spiritual Puasa itu sendiri sehingga aspek kontemplatif menjadi pudar. Jejaring kapitalis yg cenderung hedonis secara massif mengemas Ramadan dari sebuah momen spritualitas menjadi aksi konsumeris yang menyihir setiap orang.
Dalam analisis Marxian, ada hal yang disebut sebagai fetisisme. Yaitu upaya yang dilakukan industri pemujaan terhadap komoditas. Nilai sublimasi kapital yang dibungkus oleh simbol-simbol agama “laris manis” sepanjang bulan Ramadan. Dengan mengatasnamakan simbolisasi kesalehan, hedonisme religius tumbuh subur.
Proses itu pada akhirnya mengonstruksi Ramadan dari sebuah konsep yang reflektif menjadi nir esensi, bahkan jauh dari konsepsi uhrawinya.
Ramadan hanya dipahami sebagai aktivitas untuk menahan lapar dan haus secara fisik sehingga tanpa sadar kita terjebak dalam akumulasi ritus kapitalisme, yakni euforia dan parade aksi yang tidak linier dengan esensi spiritual Ramadan.
Ironis rasanya jika self awareness tidak terbangun dalam momen Ramadhan. Ini sama saja seperti apa yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa puasa seseorang akan sia-sia belaka dan hanya mendapatkan lapar dan haus semata serta kehilangan makna dan esensi puasanya.
Marhaban Ya Ramadhan
Selamat menyambut dan meraih keutamaan bulan suci!…