“Bapa, biarlah cawan ini lalu dari padaku tapi janganlah seperti yang aku kehendaki melainkan seperti yang engkau kehendaki.” – doa Yesus di Getsemani
Pada pertengahan jalan menuju kearifan, atau apapun yang kita sebut dengan istilah sejenis itu, seseorang akan menemukan dirinya sebagai manusia paling sepi. Dalam arti tertentu, itulah yang membawa Muhammad ke Gua Hira, prosesi khalwat Yesus di Getsemani dan tiga belas tahun pencarian spiritual Siddharta Gautama. Hal yang sama juga kita temui pada Pythagoras, Herakleitos, Sokrates dan Zeno dari Citium, untuk menyebut sedikit nama awal dari rangkaian panjang para filsuf Barat. Di timur ada Lao Tze, Konghucu, Adi Shankara dan lebih banyak lagi. Yang pasti, dari ensambel nama-nama itu, kita boleh bicara tentang opera semesta kesepian para pencari kearifan.
Konsep kesepian tidak benar-benar membutuhkan definisi diskursif. Bukan karena kita menganggapnya sebagai pengalaman yang terlalu umum tapi justru karena kedalamannya yang tak terjelaskan. Karenanya, kita hanya bisa mengenalinya dengan melacak ke dalam pengalaman rasa kita sendiri. Dan, meski mengandaikan sebentuk universalitas emosional, ia selalu unik bagi tiap-tiap individu. Dengan kata lain, kesepian datang padamu sebagai milik jiwamu.
Artinya, meski kesepian bisa membuatmu merasa asing di dalam lingkunganmu, ia datang dari bagian dirimu yang paling kau kenali. Lebih dari itu, kesepian bukan sesuatu yang datang dari luar dirimu. Dia ada bersama keberadaanmu sendiri. Dari sini perlu dijelaskan bahwa kita sedang bicara tentang kesepian eksistensial, bukan jenis luapan emosi temporal ketika kau sedang tidak berada bersama orang lain.
Lebih jauh, kesepian akan menyadarkanmu pada keberadaanmu sebagai individu. Dalam hal ini, catatan tentang kesepian menjadi catatan tentang diri sebagai aku. Kesepian selalu adalah kesepianku. Dan, secara eksperiensial, ia bisa menjelaskan keberadaanku. Sehingga, dengan meminjam model adagium Cartesian, kita bisa berkata, “Aku kesepian karena itu aku ada.”
Ini menjelaskan kenapa kesepian selalu berada di tengah perjalanan menuju kearifan. Setidaknya, kenapa para arif selalu mengalaminya di tengah pencarian mereka. Tak hanya menjelaskan keberadaan kita, kesepian juga mengindividuasi subyeknya. Menyadarkannya pada kesendirian sebagai keindahan berada di luar cengkeraman pengaruh dan kontaminasi racun pikiran masyarakat. Tapi kesendirian (to be alone), kata Krishnamurti, bukan berarti kesepian (to be lonely).
Kesepian adalah momen tragis dalam kehidupan seseorang. Jika dari situ kau bisa menemukan indahnya kesendirian, kau akan menjadi arif. Jika tidak, kau akan tenggelam di dalam lautan ada. Dan jawaban bagi rasa sepi yang mengharu biru adalah birunya kematian. Itu menjelaskan kenapa perjalanan eksistensial Dasein selalu dikerangkakan dalam ‘ada menuju mati’:
…atau kau mati karena kesepian atau kau mati demi kesendirian.
Pada urutan kalimat pertama, kematian bermakna perhentian terakhir. Kau mencatat kata tamat. Pada urutan kalimat kedua, kematian berarti momentum untuk dilahirkan kembali. Kesepian yang membawamu pada indahnya kesendirian akan membunuhmu untuk dilahirkan kembali. Itulah kenapa para arif tidak menukar kesepian mereka dengan tenggelam dalam keramaian dan kesenangan yang lazim terpola dalam masyarakat.
Seperti yang sudah saya sebutkan, mereka menukar kesepian dengan kesendirian. Karenanya Muhammad menjadi nabi, Yesus menggenapkan janji dan Siddharta membawa kabar pencerahan. Sementara aku lebih suka kembali terlelap di rahim Jiwa-Dunia sebelum penciptaan semesta. Indahnya kesendirian menatap Suwung.
Manado, Minggu siang di Februari…
amato