Oleh: Muhsin Labib
Bencana pandemi menebar cemas penyakit dan kematian. Gempa bumi mengusir warga dari pemukiman. Banjir dan longsor merenggut nyawa dan melumpuhkan ekonomi masyarakat. Setiap hari tulisan “Inna lillah wa inna ilaihi raji’un” dan berita duka mendominasi linimasa beragan platform medsos. Bumi seolah tak nyaman lagi jadi kampung besar homo sapien. Dimanakah Tuhan?
Banyak yang mengkaitkannya dengan ancaman Tuhan atau menduga Tuhan “mulai bosan melihat tingkah kita” dan hal-hal gaib di balik itu. Majelis-majelis zikir digelar. Seruan taubat massal pun membahana. Sebagian pihak yang menggunakan pendekatan relijius mengarahkan kita untuk menerimanya sebagai sesuatu yang semata-mata bersifat ‘langit’ dengan seloroh, “Tuhan murka kepada bangsa Indonesia”. Ada yang cenderung menerimanya tanpa sedikitpun beralasan, karena khawatir dianggap ‘anti Tuhan’, seraya mengangapnya sebagai ‘ujian Tuhan’ atau ‘cubit sayang Tuhan’.
Pola pemikiran relijius tidak memisahkan secara tegas antara alam dengan Tuhan. Landasan pemikirannya mengatakan Tuhan adalah pencipta sekaligus penguasa alam, karena itu Dia bisa berbuat apa saja dengan alam. Dengan demikian, gejala alam tidak hanya memiliki makna fisikal, tetapi juga spiritual. Karena itulah, tugas manusia adalah mencoba memahami dan menemukan kehendak Tuhan di balik setiap gejala.
Sebagai pencipta dan penguasa alam, Tuhan hadir di dalam alam dan kehidupan manusia, sehingga pada hakikatnya alam dan kehidupan manusia merupakan tanda kehadiran dan kehendak Tuhan. Dengan kata lain, pendukung pandangan ini menganggapnya sebagai totalitas tawakal dan kepasrahan. Sebaliknya, mempertanyakan apalagi menganilisisnya secara saintifik bisa dianggap sebagai arogansi dan sikap tidak patuh, bahkan syirik.
Pihak yang menggunakan pendekatan saintifik cenderung menganalisisnya sebagai peristiwa yang semata-mata akibat dari proses natural, yang bisa menimpa siapa saja yang secara saintifik berada dalam radiusnya, termasuk yang relijius dan rajin salat. Pemikiran saintifik, yang menjadikan sain dan metode empiris sebagai dasar pandangannya, menafikan relasi antara nilai spiritual dalam gejala alam. Justifikasi moral dan spiritual terhadap gejala-gejala yang tak diinginkan, menurut pandangan ini, tidak lebih dari sekadar tindakan manusia dalam mencoba melihat dirinya sendiri. Menurut pandangan ini, manusialah pelaku dan biang di balik setiap peristiwa.
Dalam pandangan Newton, Tuhan telah mencipta, pada mulanya, partikel-partikel materi, di antaranya energi-energi dan hukum-hukum fundamental tentang gerak. Dengan cara itu, seluruh alam semesta ditata dalam gerak dan ia terus berlangsung hingga kini, seperti sebuah mesin, diatur oleh hukum-hukum yang tak bisa diubah-ubah. Sejak Newton, para fisikawan telah percayass bahwa semua fenomena fisik dapat direduksi menjadi partikel-partikel yang keras dan padat. Akan tetapi ditahun 1920-an, teori kuantum memaksa mereka untuk menerima fakta bahwa objek-objek material padat fisika lenyap pada level subatomik menjadi gelombang-gelombang mirip pola-pola probabilitas.
Fisika modern, kemudian menggambarkan materi sama sekali bukan sebagai sesuatu yang pasif dan lamban, tapi mewujud dalam tarian yang berkesinambungan dan gerak yang bergetar yang pola-pola ritmisnya ditentukan oleh struktur-struktur molekuler, atom dan nuklir. Hal ini juga merupakan cara yang di dalamnya para sufi melihat dunia immateri. Mereka menekankan bahwa alam semesta harus dipahami secara dinamis, karena ia bergerak, bergetar dan menari; bahwa alam tidak berada pada posisi berhenti, tapi dalam titik keseimbangan dinamis.
Lalu, apakah kedua pandangan ini tidak bisa diharmonikan? Adakah sebuah pandangan yang menggabungkan dua pandangan diatas?
Mikrokosmos akan bertemu Makrokosmos dalam sebuah sistem holistik, yaitu jiwa dan ruh muncul dalam hukum gerak transubstansial. Jiwa terbentuk dalam kandungan materi fisik. Menurut Muthahhari, hakikat hubungan antara ruh (spirit) dan tubuh (body) adalah lebih alamiah dan lebih substansial. Hubungan keduanya seperti hubungan satu dimensi dengan dimensi lain yang lebih rendah tingkatannya.
Penelitian ilmiah terhadap cara kerja sel dan partikel-partikel penyusun atom materi telah mengungkap fakta ini tanpa dapat dibantah: Kehidupan dan alam semesta dimunculkan menjadi ada dari ketiadaan oleh kehendak dari suatu wujud yang memiliki kecerdasan dan kearifan yang mahatinggi.
Dalam setiap partikel, mikrokosmos, makrokosmos, bumi ini, ada sebuah sistem teleologis. bukanlah sebuah proses acak, tak bersebab atau ‘kebetulan’. Proses-proses perubahan yang konstan menegaskan bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan lalu berhenti, namun selalu menciptakan. Karena itu, tidak ada kata deus otiosus (Tuhan telah pensiun). Dialah kausa akhir.
Alam diciptakan oleh Tuhan melalui proses dan sistem penciptaan yang dinamis dan berkelanjutan. Gempa dan longsor, adalah proses kealaman. Proses dan sistem itulah ciptaan Tuhan, tapi manusia, sengaja maupun tidak, secara massal maupun individual, merupakan salah satu sebab dalam prosesnya.
Sebagian dari proses kreasi itu disebut bencana karena merenggut nyawa dan merugikan elemen alam lainnya, dan sebagian dianggap sebagai karunia karena menguntungkan. Bencana dan karunia adalah produk persepsi spesies manusia, makhluk yang paling bertanggungjawab terhadap kelestarian dan kerusakan alam.
Al-Quran menegaskan bahwa semua penghuni alam, mulai dari desau angin, gemercik% air, kicauan burung sampai gelegar halilintar dan gemeretak gempa adalah orkestra tasbih dan isyarat akan wujud, keagungan dan derma Pemilik Sejati jalal dan jamal.
Sang Kreator selalu punya urusan, Kullu yaumin huwa fi sya’n (Setiap hari Ia dalam urusan). Sang Kreator itu pula yang menegaskan, ‘Telah nampak kerusakan di darat dan laut sebagai ulah tangan manusia.”