Koordinat.co, Kabupaten Gorontalo – Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada keluarga miskin yang ditetapkan sebagai Keluarga Penerima Manfaat (KPM), ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pasalnya, di Desa Motilango, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo misalnya, diketahui ada oknum istri Sekretaris Desa (Sekdes) setempat yang menjadi penerima PKH tersebut.
“Ternyata betul ti Pak Sek (Sekdes, red) pe istri itu jaga dapa (mendapat) PKH. Tidak wajar dorang (mereka) dapat PKH,” protes salah satu warga desa setempat yang tidak mau namanya disebutkan saat menghubungi Koordinat.co belum lama ini.
Sementara itu, salah satu aktivis Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Daerah (AMMPD) Provinsi Gorontalo yang juga merupakan Ketua Umum (Ketum) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Serikat Pemuda Anti Korupsi (SPAK) Provinsi Gorontalo, Rahmat Mamonto sangat menyayangkan ada oknum istri Sekdes yang menjadi penerima PKH tersebut. Dikatakannya, seharusnya PKH tersebut diberikan kepada masyarakat yang wajib menerima dalam hal ini adalah masyarakat miskin.
“Dalam arti kategori yang wajib menerima itu adalah masyarakat yang kehidupannya pas-pasan, apalagi dampak dari pandemi Covid-19, sehingga program (PKH) ini dikhususkan untuk mereka rakyat yang memang benar-benar dibantu dengan berupa bantuan yang disebut dengan PKH,” tegas Rahmat, Minggu (10/1/2021).
“Sangat ironis dan sangat tidak masuk akal, kalau kemudian ada penambahan data, penambahan nama melalui proses yang ada di desa, lalu kemudian istri Sekdes dimasukan dalam data tersebut dalam hal ini menerima bantuan tersebut. Ini sangat rancu, jadi tidak masuk akal,” sambungnya.
Dijelaskan Rahmat, terkait penerima PKH tersebut kuncinya ada sama Kepala Desa (Kades). Seharusnya Kades itu harus objektif melihat masyarakat yang benar-benar wajib menerima bantuan program pemerintah.
“Jadi kemudian kalau ada istri Aparat Desa yang kemudian diakomodir menjadi penerima, ya tunggu dulu, kasihan rakyat. Masih banyak rakyat yang ada disekitaran itu yang hidupnya dengan pas-pasan, yang kerjanya hidup dengan ketergantungan, tak lain dia sebagai buruh, petani. Nah ini poin penting dipandang perlu. Sehingganya, Kepala Desa ini terkesan tidak objektif dalam memimpin suatu wilayah, terkesan dia pilih kasih,” tuturnya.
“Ayo kita lihat, apakah istri dari Sekdes ini apakah kategori orang yang tidak mampu? lantas suaminya sebagai Sekdes yang ada gaji di desa, lalu kemudian istrinya masih menerima bantuan program pemerintah pusat? Ini sangat aneh. Pendataan itu lahir dari desa, bukan langsung dari pusat. Sehingganya, ini Kepala Desa tidak pantas lagi jadi Kepala Desa,” lanjutnya.
Sehingganya, menurut Rahmat, hal tersebut harus segera dihentikan. Seharusnya sejak dari awal harus dievaluasi KPM nya melalui mekanisme dan syarat-syarat yang ada.
“Tidak bisa kita mengakomodir masyarakat yang notabennya sudah mencukupi kehidupannya, kita akomodir dalam program bantuan pemerintah, itu tidak bisa. Nah ini telah melukai hati rakyat. Jadi sekali lagi, ini Kepala Desa ini tidak hanya memikirkan anggaran dana desa saja, akan tetapi program-progam yang dikucurkan oleh pemerintah pusat ini benar-benar bersentuhan langsung kepada masyarakat yang wajib, yang layak menerima itu bantuan. Jadi kalau memang hal ini hanya dibiarkan oleh Kepala Desa, maka patut dipertanyakan Kepala Desa ini memimpin orang yang susah atau memimpin orang yang ekonomi menengah keatas,” tandasnya.
Terkait hal itu, Kades Motilango, Hamid Buna saat dikonfirmasi melalui sambungan seluler membenarkan, istri dari salah satu perangkat desanya (Sekdes) adalah penerima PKH. Dikatakannya, istri Sekdes tersebut adalah penerima PKH sebelum dirinya menjadi Kades.
“Saya sudah klarifikasi sama Kepala Dusun (Kadus), katanya Kepala Dusun katanya itu memang dia (istri Sekdes) itu penerima sebelum ti Ayah (Kades) jadi Kepala Desa itu dia memang sudah ba terima (menerima), saya kan (jadi Kades) 2015,” pungkasnya.
Penulis/Editor: Ricky Rianto Kadir