Oleh: Alto Makmuralto
[Ketua Umum PB HMI (MPO) 2011-2013]
Setidaknya ada tiga topik menarik yang disampaikan Gus Yaqut Cholil Qoumas pada pekan-pekan awal ia ditunjuk selaku Menteri Agama Republik Indonesia. Pertama, agama merupakan inspirasi, bukan aspirasi; Kedua, pengikut Syiah dan Ahmadiyah adalah warga negara yang wajib dilindungi oleh negara, dan; Ketiga, populisme Islam perlu dicegah. Kalau saja ketiga topik itu dikawal serius oleh Gus Menteri, tentu dengan sokongan penuh Presiden Jokowi, maka era kegelapan akibat semarak intoleransi dan konservatisme agama akan lekas berlalu.
Terpilihnya Gus Yaqut menjadi menteri agama segera memanaskan kuping kelompok intoleran dan konservatif. Ketiga pernyataan Gus Yaqut di atas langsung disambar cibiran dan sinisme kalangan oposisi. Ada pula sementara pihak yang bersikap skeptis, atau menunggu kata-kata itu dibuktikan dulu secara nyata. Yang pasti, Gus Menteri telah menerangkan posisi dan sikapnya secara tegas; dan sikapnya yang demikian itu telah memberi asa bagi kita yang ingin hidup damai dalam kemajemukan.
Pertama: agama adalah inspirasi, bukan aspirasi. Konsepsi tersebut telah lama kita temukan dalam pemikiran intelektual muslim garda depan semacam Cak Nur maupun Gus Dur. Konsepsi itu menjadi teramat relevan dewasa ini di tengah maraknya intoleransi dan konservatisme agama (Islam) di Tanah Air, juga tuntutan/aspirasi sebagian kelompok yang menghendaki berdirinya khilafah, negara Islam, maupun NKRI Bersyariah. Fenomena dan aspirasi tersebut jelas tidak kompatibel dengan demokrasi, kebhinekaan, dan ideologi negara Pancasila yang berlaku di negara kita.
Kedua: pengikut Syiah dan Ahmadiyah adalah warga negara yang wajib dilindungi oleh negara. Dua kelompok minoritas ini telah menjadi bulan-bulanan kaum intoleran di Indonesia. Kalangan konservatif Islam umumnya masih memiliki sedikit toleransi kepada non-muslim ketimbang kepada Syiah dan Ahmadiyah. Mereka kerap menjadi korban persekusi dan tindak kekerasan; beberapa di antaranya bahkan tewas atau terpaksa mengungsi di negerinya sendiri guna menghindari kekerasan lanjutan. Negara seperti tak berdaya melindungi mereka, baik untuk sekadar hidup damai dan bebas dari intimidasi maupun (apalagi) untuk secara merdeka memeluk keyakinan dan beribadat menurut keyakinannya itu sebagaimana dijamin UUD 1945. Padahal, salah satu tugas negara ialah melindungi segenap rakyat Indonesia dan menjamin hak-haknya, tak peduli dia Syiah atau Ahmadiyah.
Ketiga: populisme Islam perlu dicegah. Populisme Islam yang dimaksud tersebut adalah semaraknya perkembangan Islam berwatak intoleran dan konservatif di Tanah Air yang mengampanyekan seolah-olah umat Islam ditindas oleh rezim yang berkuasa. Pengertian populisme Islam dalam konteks ini sama sekali tidak terkait antusiasme kaum muslimin melaksanakan ajaran agamanya, sebab dari dulu kaum muslimin sudah antusias dalam berislam. Populisme Islam lebih dimaksudkan sebagai tumbuh pesatnya kelompok-kelompok yang menghendaki formalisasi Islam di ranah publik yang semestinya netral, dan memandang semua pemahaman keislaman di luar kelompoknya adalah salah, yang berlindung di balik isu seakan-akan umat Islam dizalimi dan dipojokkan. Tujuan dari gerakan populisme Islam tersebut ialah menggalang simpati sekaligus menghasut publik melawan elite (juga sistem) yang berkuasa dengan alasan subjektif adanya penzaliman, penindasan, dan semacamnya terhadap umat Islam. Kehadiran populisme Islam yang demikian itu selain tak sejalan dengan ideologi negara Pancasila, juga merupakan ancaman serius bagi harmoni dan kedamaian.
Sejak memimpin GP Ansor, Gus Yaqut sudah kerap kita dengar menyuarakan Islam yang damai, toleran, dan memiliki rasa keindonesiaan. Sikap dan aksi Gus Yaqut melawan radikalisme dan intoleransi sangatlah meyakinkan dan tak perlu dipertanyakan lagi. Namun menjadi menteri tentulah sangat lain dengan menjadi pimpinan ormas, dan Gus Yaqut tak perlu digurui perkara demikian.
Selamat bekerja, Gus Menteri, kami menanti pelaksanaan kata-kata Anda!