Koordinat.co, Kabupaten Gorontalo. Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Gorontalo mendukung adanya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan mendesak agar segera disahkan, karena undang-undang ini amat dibutuhkan dalam rangka membangun konstruksi hukum yang berkeadilan dan sungguh melindungi kelompok rentan di dalam masyarakat, khususnya perempuan dan anak. Selasa, (15-12-2020)
Ketua Korps PMII Putri Shela Suratinoyo, SH dalam orasinya menyampaikan dukungan terhadap RUU P-KS untuk disahkan pada tahun 2020, dalam bahasa-bahasa orasi mahasiswa mendesak kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Ketua DPR, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, para ketua fraksi, hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar kiranya segera mengesahkan RUU P-KS serta mengajak kepada seluruh masyarakat provinsi Gorontalo untuk menandatangani petisi sebagai bentuk dukungan terhadap RUU P-KS.
Shela menambahkan, Alasan pertama hingga dilakukannya aksi ini yaitu faktor lambannya pembahasan RUU P-KS. RUU ini sudah dirancang Komnas Perempuan sejak 2012, disusun drafnya pada 2014, hingga masuk sebagai RUU Prolegnas sejak 2016. Namun hingga kini RUU itu tak kunjung disahkan DPR menjadi UU.
Alasan kedua, angka kekerasan seksual di Indonesia yang tinggi. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2020, tercatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang 2019, angka tersebut naik 6 persen dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 406.178.
Laporan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas berjumlah 3.062 kasus. Sebanyak 58 persen di antaranya adalah kasus kekerasan seksual perkosaan, disusul oleh pelecehan seksual, dan pencabulan.
Angka yang tampak ke permukaan ini diyakini hanya sebagian fakta. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual hadir sebagai lex specialis dari KUHP.
RUU P-KS lebih luas dalam mengatur jenis-jenis kekerasan seksual karena terdapat sembilan bentuk, sedangkan KUHP hanya mengatur mengenai perkosaan dan pencabulan, kata Shela.
RUU P-KS juga lebih baik ketimbang KUHP dalam hal aturan soal kekerasan seksual. Soalnya, RUU P-KS memuat restitusi, perampasan keuntungan, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan jabatan, dan pengumuman putusan hakim terkait pelaku.Maka, mereka menuntut tiga hal ke Presiden Jokowi, DPR, dan KPPA. Pertama, menjadwalkan dan melaksanakan sidang pembahasan RUU P-KS, kedua, mengesahkan RUU P-KS, dan ketiga, mengikutsertakan akademisi dan organisasi kemasyarakatan yang memiliki perspektif keadilan terhadap korban kekerasan seksual. Pungkasnya. (ARB)