Oleh : Muhsin Labib
Sayyid adalah predikat yang disandang oleh orang yang dipanggil habib. Seorang sayyid dan habib punya predikat yang luas, yaitu alawi. Ketiga istilah ini perlu dibahas secara khusus.
Kata ‘sayyid’ adalah kata yang berasal dari kata baku (mashdar) ‘siyadah’ atau kata kerja lampau ‘sada’ (dengan fathah dan alif setelah huruf sin), berarti ‘menguasai’ dan ‘memimpin’.
Karena penghargaan abadi kepada para tokoh Ahlul-Bait itulah, setiap alawi atau yang memiliki garis keturunan yang terbukti membimbing umat juga dipanggil dengan predikat ‘sayyid’. Artinya, gelar ini bukanlah semata-mata penghargaan dan pemujaan simbolik, namun juga isyarat dan mekanisme alami untuk senantiasa mengingatkan mereka yang merasa berasal dari garis nasab Ahlul-Bait untuk senantiasa mewakafkan diri sebagai abdi dan pemandu umat. Penghormatan dan pengistimewaan umat terhadap para alawi karena kontribusi dan pengorbanan mereka demi umat.
Apabila peran dan kontribusi nirlaba ini tidak lagi diberikannya, maka seorang alawi tidak patut menunggu orang memanggilnya dengan ‘sang pemimpin’ (sayyid). Artinya, ada kalanya seorang alawi tidak menyandang predikat ‘sayyid’.
Ke-alawi-an dapat pula dilihat dari dua sisi, yaitu ke-alawi-an biologis, dan ke-alawi-an ideologis. Ke-alawi-an jenis pertama dan kedua bisa terhimpun dalam satu sosok, seperti Imam Khomeini dan Hasan nasrullah, namun bisa juga terpisah, sehingga tidak semua alawi biologis menyandang ke-alawi-an ideologis, begitu pula sebaliknya.
Menjadi alawi (sayyid biologis) bukanlah pilihan. Dan karena ia bukan pilihan, maka seseorang tidak layak dicemooh, didengki atau dijadikan sebagai alasan untuk sombong dan pongah.
Para sayyid yang menganut mazhab Ahlul-Bait adalah orang-orang yang telah rela untuk tidak mendapatkan hak-hak istimewa sebagaimana bisa dinikmatinya bila tetap Sunni, terutama bila hidup di sentra-sentra otoritas tradisional alawi di sejumlah kota di Indonesia karena telah mengembalikan hak istmewa kesucian kepada orang-orang khusus yang telah menerima tugas mengawal agama.
Setiap penganut mazhab Ahlul-Bait berpeluang untuk menjadi sayyid dan menjadi salman Farisi dan Muhammad bin Abu Bakr. Setiap orang yang memegang teguh tawalli dan tabarri adalah putra-putri Ali bin Abi Thalib.
Di luar komunitas Ahlulbait, sayyid dan habib dengan hak istimewa bisa dinikmati tanpa standar yang tegas. Itu artinya, tak semua habib, sayyid dan alawi menganut mazhab Syiah. Tentu, itu merupakan hak pilihan teologis yang layak dihargai. Tapi yang memilukan adalah fenomena habib yang menjadikan gelar mulia ini untuk mengambil kekuasaan dengan cara ilegal, mengais harta dengan cara tak etis serta mengklaim superioritas untuk melawan hukum.(R01)
Sumber : facebook Muhsin Labib